Bab 26 : Kebahagiaan Arion

1.3K 174 3
                                    

Dua minggu tidak menginjakkan kaki di rumah ini, membuat Arion sedikit risi ditanyai oleh para pekerja. Mereka terlihat sangat khawatir ketika melihatnya datang dengan mengendarai mobil yang tak mereka kenali.

"Ayah mana, Bi?" tanya Arion.

"Di ruang kerja. Aden makan dulu sebelum pulang, ya, Bibi siapin makanan kesukaan Aden." Bi Ira terus mengikuti Arion yang berjalan menuju pintu.

"Eemm ... Bibi masukin aja ke kotak makan, aku mau bawain buat istriku," ujarnya, sembari menoleh.

Wanita itu terkejut mendengarkan kata istri. Ya, Arion memang tidak memberitahukan kepada asisten rumah tangga, jikapun mereka tahu, sudah pasti rumah Alin akan disulap meriah oleh mereka saat akad dua hari yang lalu.

"Istri?" Bi Ira menyuarakan keterkejutannya.

"Iya, istri," Arion tersenyum, "entar kapan-kapan aku ajak ke sini, Bibi tunggu aja."

Wanita itu mengangguk. Arion pamit menuju ruangan sang ayah, sedangkan Ira segera menuju dapur untuk melakukan permintaan anak majikannya. Satu-satunya kehangatan yang Arion rasakan di rumah ini adalah perhatian para pekerja ketika dirinya menunjukkan batang hidung.

Tanpa mengetuk, Arion masuk ke ruang kerja ayahnya. Beliau langsung mengangkat pandangan dari laptop yang ada di hadapan. Cukup senang melihat ayahnya tidak menggunakan kursi roda lagi, menunjukkan bahwa Safir sudah bisa berdiri di atas kaki sendiri.

"Ayah pasti udah tahu apa mauku," ucap Arion, sedikit berbasa-basi.

Safir tersenyum senang, segera bangkit dari duduknya. "Ayah tahu kamu bakalan kembali."

Memicingkan mata, Arion sedikit menaruh curiga pada pria itu. "Kenapa bisa?"

"Karena kamu anak Ayah," sahut Safir, "duduk dulu, Ayah kasih tahu posisi baru kamu. Maafin Ayah yang terlalu cepat memutuskan, seharusnya dibimbing dulu sebelum memutuskan."

Arion menarik kursi yang ada di hadapan ayahnya, hari ini pun ia memutuskan meninggalkan pekerjaannya di supermarket. Benar kata temannya, bahwa Arion tidak akan mampu bertahan bekerja di tempat seperti itu, sebab sejak awal ia telah disediakan pekerjaan dan bebas melakukan apapun, bekerja di tempat orang lain memang sangat beda rasanya.

Namun, meski begitu, alasan utama Arion menyerah adalah Fidelya. Iya tak ingin wanita yang dicintai mendapatkan gunjingan hanya karena keegoisannya, Arion tidak ingin sang istri dipandang sebelah mata.

"Pilihan Ayah nggak salah, sudah Ayah duga sejak awal, Fidelya memang cocok buat kamu," ujar Safir yang kembali duduk, terdapat senyum senang serta bangga di bibirnya.

"Maksud Ayah?" Arion penasaran.

Safir menatapnya. "Sebenarnya Kadava nawarin putrinya yang bernama Alniyah, tapi Ayah tolak dan ternyata Alniyah juga nolak. Ayah pernah ketemu dia berkali-kali di acara perusahaan, dan Ayah langsung tahu kalau dia bukan tipemu."

Arion mengerutkan kening. "Ayah tahu dari mana tipeku yang kayak gimana?"

Sang ayah tersenyum lembut. "Semua orang tua punya banyak cara untuk tahu tentang anak-anaknya."

Mendengkus, Arion meremehkan setiap ucapan ayahnya. "Nanya ke Razka, 'kan?"

Safir tertawa kecil. "Itu juga salah satu cara," jawabnya, membuat sang putra memutar bola mata, "Ayah perhatiin, cewek yang kamu ajak kencan pasti cewek yang seperti Alniyah, dan itu nggak akan bertahan lama. Iya, 'kan?"

Meskipun tak terima ayahnya mengetahui sedikit tentangnya, Arion tetap mengangguk membenarkan. Sudah pasti Razka banyak bercerita tentangnya, membuat Arion sedikit kesal sebab secara tidak langsung Razka tengah menceritakan keburukannya.

"Makanya Ayah pilih Fidelya, dia cewek yang misterius, dan pasti bakalan bikin kamu penasaran terus-menerus," imbuh Safir, "apalagi dia jutek sama orang baru, pasti kamu makin terpacu buat deketin."

"Ayah terlalu berbangga diri, nyatanya kesalahan Ayah masih banyak," timpal Arion, menatap serius pada sang ayah.

Safir menghela napas berat, wajah bahagianya seketika sirna. "Ayah udah menyesali semua itu, Alin juga mulai terbujuk untuk ambil S2."

Mendengarkan itu, Arion mendekatkan wajahnya pada Safir. "Serius, Yah?"

Pria itu mengangguk. "Akhirnya Keyvano berhasil bujuk adikmu. Kedatangan kamu di sini juga Ayah butuhkan buat diskusi soal posisi Alin nanti kalau udah selesai kuliah. Bagusnya adikmu di bagian mana?"

Mata Arion seketika berbinar mendengarkan kabar tersebut. Apa yang ia perjuangkan selama ini, agar didengarkan oleh orang tua, perlahan mulai diperbaiki meskipun terlambat. Arion tahu bahwa risiko ada pada kurangnya waktu bersama Livano, tetapi Arion ingin Alin memiliki pendidikan tinggi agar tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain.

"Maaf, mungkin udah terlambat—"

Arion menggeleng cepat. "Nggak, asalkan keinginan terjadi, mau terlambat pun nggak masalah."

Ia menyapu dada, sangking merasa senang atas kabar itu, jantung pun seakan berhura-ria ikut merasakan kebahagiaan. Arion sangat bersyukur mendengarkan kabar tersebut.

"Dan soal Fidelya. Kamu nggak ada niat buat narik istrimu kerja di perusahaan Ayah?"

Arion terdiam sejenak, memikirkan istrinya yang bekerja terlalu jauh dari kantor tempatnya bekerja, membuat Arion sedikit terbuai ingin memindahkan Fidelya ke kafe milik Keyvano yang dekat dengan kantornya nanti. Namun, menarik Fidelya untuk keluar dari indekos tersebut, sudah pasti akan sangat sulit.

"Ayah udah siapin apartemen buat kalian," tambah Safir, seakan mengiming-imingkan fasilitas lengkap agar Arion mau pindah rumah.

Menggeleng, Arion menolak. "Nanti aja, kalau udah punya anak."

Ya, setelah bertempur dengan isi kepala, Arion mendapatkan jawaban, yaitu nanti saja. Sebab, jika pindah sekarang ke apartemen yang memiliki banyak ruangan, yang ada Fidelya akan memisahkan kamar mereka berdua, dan Arion tak akan punya kesempatan untuk berolahraga malam.

Untuk hal tersebut, Arion rela menempuh jarak bermil-mil setiap hari, asalkan bayarannya bisa berada di satu ruangan bersama Fidelya ketika pulang kerja.

"Kantor dan tempat tinggal kamu sekarang jauh banget, loh." Safir masih membujuk.

"Jauh nggak masalah, yang penting itu sempit," ujar Arion, penuh maksud.

Safir menghela napas berat. "Terserah kamu. Setelah ini beresin pakaian kamu, temani Ayah perjalanan bisnis ke Singapura. Kamu harus banyak belajar mulai dari sekarang."

**

Vote dan komeen

Jebakan Pak CEO (END)Where stories live. Discover now