Bab 27 : Ngambek

1.1K 173 5
                                    

Kembali ke indekos, Arion mendapati Fidelya tengah memasukkan pakaian Arion ke dalam lemari. Tata letak ruang tersebut telah berubah, meskipun tak ada tambahan benda, tetapi terlihat baru di mata Arion.

Memang hari ini Fidelya tak pergi bekerja setelah berolahraga dengan Arion tadi pagi. Saat itu Arion merasa khawatir pada kondisi istrinya, tetapi rasa khawatir itu terus ditepis oleh Fidelya dengan kegalakan yang tak ada tandingannya.

"Nggak kerja?" Fidelya mengerutkan kening, melihat Arion sudah pulang sebelum menjelang sore.

"Aku berhenti kerja," jawab Arion, segera menjatuhkan tubuh di kasur yang sudah berganti sprei.

"Kenapa?" Fidelya nampaknya merasa cemas.

Arion yang hendak ingin memejamkan mata, kembali membuka kelopak dan menatap wajah sang istri. Ya, wanita itu terlihat merasa bersalah, dan Arion tahu alasannya. Fidelya pasti berpikir karena hinaan Alniyah kemarin, membuat Arion berhenti bekerja.

"Aku udah bilang, nggak bakalan bikin kamu malu lagi," ujar Arion, terdengar santai.

"Lebih malu-maluin lagi kalau kamu jadi pengangguran," timpal Fidelya.

Arion bangkit dari berbaringnya. "Nggak mungkin aku jadi pengangguran, karena aku udah baikan sama ayah," ia mendekati Fidelya yang berdiri di sebelah meja, "aku suka waktu kamu ngomong 'kamu' ke aku," godanya.

Pipi istrinya itu bersemu merah, dan itu membuat Arion terkikik geli. Dikecupnya pipi Fidelya, membuat sang wanita mendesis kesal. Arion suka pemandangan ini, benar kata ayahnya, Fidelya benar-benar tipenya.

Pertama bertemu, Fidelya memberikan kesan elegan, khas perempuan yang jauh dari mainan Arion. Hanya butuh lima belas detik, rasa penasarannya pada wanita itu meningkat drastis. Penasaran berubah menjadi ingin memiliki, dan cinta hadir dalam sekejap.

"Kenapa bisa baikan?" tanya istrinya.

"Karena nggak marahan," Arion terkekeh ketika Fidelya menghadiahinya cubitan di lengan, "karena ayah udah sadar kesalahannya, dan aku juga sadar kalau nggak bisa ngapa-ngapain tanpa kekuasaan ayah."

Fidelya mengangguk mengerti. "Bener, sih, di zaman kek gini, skill bakalan kalah sama orang dalam."

Arion setuju akan hal itu, dipikirnya bekerja di supermarket temannya, akan mendapatkan posisi yang bagus, ternyata ia malah dikerjai habis-habisan. Padahal skill Arion tak bisa diragukan, meskipun malasnya ini sudah mendarah daging.

Bekerja di perusahaan Safir, tidak akan membuat Arion menderita karena keisengan temannya. Sebab, di sana Arion termasuk pemegang kendali. Hanya saja, ia tak akan melakukan hal bodoh lagi, karena sudah memiliki seorang istri, yang harus diberikan nafkah dari pekerjaan yang halal, bukan gaji buta seperti yang sering diterimanya.

"Oh iya, aku boleh minta tolong?" Arion mencari keberadaan kopernya, "besok aku mau perjalanan bisnis sama ayah ke Singapura, tolong sediain pakaianku."

Fidelya mendengkus, entah apa maksud dari dengkusan itu. Arion sama sekali tak menggubris istrinya, malah memilih menurunkan koper yang berada di atas lemari.

"Tolong, dong, Sayang," pelasnya, sembari mengedipkan mata berkali-kali.

"Harusnya kamu nolak diajak keluar negeri," Fidelya mengentakkan kaki, kesal, "packing sendiri, aku capek habis bersih-bersih."

***

Terhitung sudah tiga jam Arion didiamkan oleh Fidelya. Setelah mengulas kembali kejadian tadi sore, ia menarik kesimpulan bahwa Fidelya tidak menginginkan Arion pergi jauh di saat mereka masih menjadi pengantin baru.

Ya, Arion cukup percaya diri dengan asumsinya ini, meskipun Fidelya tidak memperjelas dengan ucapan, tetapi cemberut itu sangat menguatkan bahwa asumsinya benar. Setelah makan malam, Arion segera mencuci piring yang mereka gunakan.

Fidelya sendiri bersandar di dinding dan menonton acara televisi tanpa senyum sedikitpun, padahal yang ditonton adalah sketsa komedi yang diperankan oleh para pelawak tanah air. Arion tersenyum kecut, ingin mewujudkan keinginan sang istri, tetapi juga ia ingin merubah nasib mereka.

Sudah cukup Fidelya mendapatkan gunjingan dari saudara tirinya, Arion tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Selama ia masih hidup, akan dibuatnya Fidelya merasakan kebahagian, tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain, terlebih saudara tirinya.

"Ngomong-ngomong, Yang," Arion mengambil tempat duduk di sebelah sang istri, "Alin mau lanjut S2. Ayah nanya, kamu mau lanjut juga, nggak?"

"Nggak," jawab Fidelya, dengan nada ogah-ogahan.

"Pikirin dulu. Kesempatan selalu terbuka buat kamu."

Tidak ada sahutan dari Fidelya, mata terfokus pada layar televisi, tetapi Arion yakin pikirannya entah berada di mana. Merasa dicueki, Arion memutar otak untuk mengambil alih perhatian sang istri, digenggamnya tangan yang tengah memegang remote televisi.

"Apaan, sih," protes Fidelya.

"Hehe ...," Arion terkekeh pelan, "ganti, dong, acaranya. Ini sama sekali nggak bikin kamu ketawa."

Fidelya berdecak, menjauhkan tangannya dari genggaman Arion. "Mending tidur, besok kamu harus ke bandara pagi-pagi."

"Temenin, dong, aku mau tidur sambil peluk kamu," goda Arion.

Sang istri mendesis risi. "Gue lempar lo pakek ni remote."

"Galak banget, tadi pagi jinak di bawah aku."

Detik kemudian Arion merasakan hantaman suatu benda di kepalanya. "Aah! Sayang!" jeritnya, sembari mengelus bagian kepala yang terkena remote.

"Jangan diingetin! Bikin kesel aja!"

***
Vote dan komeen

Jebakan Pak CEO (END)Where stories live. Discover now