Bab 28 : Dijemput Adik Ipar

1.3K 185 8
                                    

Dua hari ditinggalkan Arion, baru kali ini merasakan sepi yang sangat mendalam. Fidelya menatap ke area parkir, di mana mobil baru milik Arion terparkir sempurna, tak berpindah seincipun sejak ditinggalkan pemiliknya.

Fidelya memiliki kunci mobil tersebut, tetapi ia tak tahu cara mengendarai. Selama ditinggalkan, ia masih setia mengendarai motor matic miliknya. Mobil itu akan berguna jika pemiliknya pulang dari perjalanan bisnis, entah kapan, sebab Fidelya tak pernah menanyakan.

"Gue kayak orang gila, sumpah," gerutunya, ketika menyadari bahwa tengah menunggu kedatangan Arion.

Semakin ditahan, rasa ini semakin ingin tahu. Namun, gengsi Fidelya sangat besar untuk tidak menghubungi Arion. Lagi pula, pria itu juga tidak menghubunginya, terakhir kali hanya mengirimkan chat bahwa telah sampai di negara tujuan.

"Gue kayak remaja di-ghosting." Terkekeh pelan, Fidelya tak bisa melepaskan pandangan dari mobil tersebut.

"Kak!" Suara seseorang mengisi keheningan.

Fidelya tidak merespons, sebab suara dan panggilan itu sangat asing baginya. Sebuah tepukan membuat ia tersentak kaget, menoleh ke si pelaku, Fidelya mendapati senyum cerah Alin yang terlihat senang akan pertemuan mereka hari ini.

Mereka tak janjian, Fidelya juga tidak pernah mengatakan di mana tempat tinggalnya. Untuk ukuran Alin yang sedang sibuk mengurusi rumah dan anak, sudah pasti datang ke tempat ini adalah suatu kelangkaan.

"Lin?" Fidelya merespons kehadiran wanita itu.

Hubungan mereka tak jauh berbeda dengan senior dan junior yang berpapasan berkali-kali tanpa mengobrol sedikitpun. Setelah menjadi orang kepercayaan Keyvano, lambat-laun pertemuan dan hubungan mulai terjalin semakin akrab, meskipun mereka sama-sama jarang mengobrol.

"Kaget, 'kan?" Alin menyengir, "aku ke sini disuruh Bang Dav."

Fidelya mengerutkan kening. "Untuk?"

"Jemput Kakak," jawab Alin, enteng, "Bang Dav khawatir Kakak sendirian di sini."

Itu bukanlah hal baru bagi Fidelya. Arion pasti lupa, sebelum tinggal berdua, Fidelya telah lama tinggal sendirian tanpa seseorang yang menemani. Namun, ini sudah pasti bentuk perhatian Arion dan juga sisi protektif tak ingin orang kesayangan sendirian di rumah.

Sebagai istri, Fidelya harus mengikuti, tetapi kembali lagi, ia telah lama hidup sendiri, hal seperti ini bukanlah sebuah masalah besar untuk dirinya. Lagi pula, Arion bisa memberitahukan dirinya terlebih dahulu, bukan mengutus Alin tanpa sepengetahuannya.

"Udah kuduga, Kakak pasti bakalan nolak," ujar Alin, terdengar sangat kecewa.

Fidelya menghela napas berat. Sebuah kesadaran menghantam kepalanya, mengatakan bahwa tak seharusnya ia menolak. Lagi pula, keluarga Arion memperlakukan dirinya dengan baik, sebab sekarang Fidelya tak sendiri lagi, ia memiliki suami yang dicintai keluarganya.

"Masuk dulu," ucap Fidelya, berbalik dan membukakan pintu indekosnya, "aku mau beresin pakaian dulu."

Ketika Fidelya menoleh pada Alin, senyum bahagia tercetak jelas di sana. Ia pernah bermimpi memiliki saudara yang menerima dirinya apa adanya. Kehadiran Alin seakan melengkapi kekosongan tersebut, serta menyembuhkan luka yang digoreskan oleh saudara tirinya.

"Kamu ke sini bareng siapa?" tanya Fidelya, sembari melangkah masuk ke kamarnya dan segera menuju lemari.

"Dianterin sama Key, tapi dia udah balik lagi."

Fidelya mengerutkan kening. "Terus, kita perginya naik apa?"

Alin berdecak. "Kakak lupa? Kan, Kakak punya mobil, biar aku yang kemudi."

Ah, Fidelya lupa bahwa hidupnya ini semakin meningkat. Keputusan Arion untuk kembali ke keluarganya, membuat Fidelya bisa menambahkan fasilitas di ruang sempit indekosnya. Namun, hanya satu yang tidak pernah bisa dibelinya dengan uang yang berada di rekening Arion, yaitu rumah.

Pria itu pun tidak pernah membahas tentang rumah, seakan lupa bahwa mereka sekarang tinggal di ruang kecil yang harus digunakan bersama. Sebagai istri, bisakah Fidelya protes pada suaminya itu?

***

"Lucu, kan, Kak?" Alin menunggu respons kakak iparnya ketika disodorkan foto Arion saat masih berusia lima tahun.

Fidelya tertawa kecil. "Kayak bukan abangmu," tanggapnya.

Dipandangnya dengan seksama foto seorang anak laki-laki yang tersenyum ke arah kamera, kedua tangan bocah itu tengah memegang mainan, dan ada seorang wanita memangku Arion.

"Ini siapa?" tanya Fidelya, menunjuk wanita itu.

"Itu mendiang nenek. Kami diasuh nenek waktu masih kecil, karena orang tua sibuk kerja."

Fidelya membulatkan bibir, mata masih memandang foto suaminya. "Andai dia lucu kayak gini, pasti nggak perlu usaha buat deketin aku."

Ucapan itu disambut tawa oleh Alin. "Mana ada kayak gitu, Kak."

Tiga jam berada di rumah ini, Alin berusaha memberikan kenyamanan pada Fidelya. Mereka yang biasanya tidak saling mengobrol, kali ini malah terlihat sangat akrab. Selama menikah, Fidelya tak pernah melihat ibu dari Arion, membuatnya bertanya pada Alin.

"Emm ... ibu di mana?" tanyanya, sedikit ragu akan menyinggung.

"Di rumahnya. Ibu masih ngambek karena abang nikah tiba-tiba, nggak mau meriah," Alin berdecak, "padahal, itu keputusan Kakak dan abang, tapi ibu nggak mau ngerti."

Fidelya merasa bersalah dengan keputusannya itu, membuat hubungan ibu dan anak menjadi renggang. Seharusnya waktu itu Arion protes, tetapi malah mendukungnya. Hanya karena ingin lepas dari Kadava, Fidelya mengorbankan hubungan tersebut.

"Nggak usah merasa bersalah, abang sama ibu emang nggak akur. Sama ayah juga, baru sekarang aja kelihatan akur," Alin tersenyum lembut, menggenggam tangan Fidelya, "berkat Kakak, Bang Dav mau memaafkan."

Fidelya mengerutkan kening. "Bukannya karena kamu mau lanjut kuliah? Selama ini, itu yang lagi dia perjuangkan, 'kan?"

"Itu bonusnya. Abang datangi ayah sebelum tahu kalau aku mau lanjut kuliah," Alin menghela napas lega, "Bang Dav bilang, nggak mau Kakak dipermalukan orang lain karena pekerjaan yang abang pilih."

Fidelya terdiam, Arion memang mengatakan hal tersebut, tidak ingin membuat Fidelya malu lagi. Namun, baru kali ini ia mengerti maksud dari kata-kata tersebut.

Rasa bersalahnya semakin besar, apalagi sebelum Arion pergi, Fidelya malah bersikap cuek hanya karena tak ingin ditinggalkan. Ia membalas genggaman tangan Alin, sebab tengah terhanyut pada pengorbanan Arion untuknya yang tak sadar diri.

***

Vote dan komeen

Jangan lupakan Arion

Besok epilog uhuy

Jebakan Pak CEO (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora