Bab 18 : Dua Orang tak Diundang

989 129 1
                                    

Fidelya menggerutu kesal melihat hujan tak kunjung berhenti, padahal ia sudah punya janji dengan salah satu kenalannya yang menjual apartemen untuk dihuni. Ya, setelah mengiyakan lamaran Arion, sebuah rencana terbesit di kepala, ia harus pindah dari kamar kosnya yang hanya bisa dihuni satu orang, sebab tak punya kamar dan ruang lainnya, yang ada hanyalah satu ruang serba guna.

Jika tinggal di apartemen, nantinya mereka berdua bisa berbeda kamar. Tentu, Fidelya belum berniat menikah dalam artian siap, ia menerima hanya untuk pelarian. Arion pasti mengerti, meski ia belum menjelaskan alasan dan keinginan setelah menikah.

Ngomong-ngomong soal apartemen, gaji dan tabungan Fidelya tidak akan cukup, maka nanti akan dibahas bersama Arion. Lagi pula, yang Fidelya lihat, Arion berasal dari keluarga kaya, mobil dan tampilannya benar-benar mengikuti tren.

Pertemuan perjodohan waktu itu sudah menjelaskan semuanya. Meski sebenarnya Fidelya tak suka pada ibu Arion, yang senyum saja seperti dipaksakan dan tak ikhlas. Namun, Fidelya tetap memilih Arion sebagai pelarian, sebab hanya lelaki itu yang terus mengekor di belakangnya.

Sebuah mobil berhenti di area parkir, nyatanya hujan tak menghentikan rezeki Fidelya, seorang pelanggan datang tanpa memikirkan cuaca. Sudah pasti minuman hangat adalah pilihan terbaik untuk menetralkan dingin akibat hujan.

Ketika pengemudi mobil itu keluar, seketika bibir yang hendak terangkat untuk tersenyum, kini turun ke bawah dengan cepat. Seseorang yang sangat tak ingin Fidelya temui, seakan diundang datang ke mari.

Alniyah, saudari tiri yang waktu itu dipergoki olehnya bersama teman Arion di hotel, kini berjalan dengan anggun di bawah payung. Perempuan itu masuk, meninggalkan payung di teras kafe. Fidelya menghela napas, segera bangkit dari duduk, meninggalkan meja kasir yang juga dijaga oleh seorang karyawan.

"Kebetulan lo ada di sini," ucap Alniyah, dengan suara keras, menyita perhatian orang lain.

Beruntung kafe sedang sepi pengunjung. Meskipun Fidelya bersiap untuk pergi, nyatanya mata perempuan itu sangat cepat mendapatkannya. Ia tak menggubris, dengan cepat melangkah ke ruangannya. Fidelya memutar ingatan, merasa bahwa tak membuat masalah pada Alniyah.

Ia sama sekali tidak pernah buka mulut pada Kadava tentang pertemuan di hotel tersebut, maka tak ada alasan bagi Alniyah untuk bertemu dengannya. Fidelya mengunci ruangan, dan duduk di kursi kerja. Kekesalan bertambah, dari hujan ke Alniyah, keduanya sama-sama menghambat Fidelya hari ini.

Ketukan di pintu membuatnya menghela napas berat. Alniyah pasti tidak akan pergi sebelum bertemu dengannya. Susah juga menjadi orang yang dibenci, Fidelya merasa tak berkutik dan selalu diikuti. Ia jengah, merasa hidup paling sulit di dunia.

"Gue nggak ada urusan sama lo!" teriaknya.

Terdengar suara decakan dari balik pintu. "Tapi gue punya!"

"Itu bukan masalah gue! Gue nggak ada hubungannya sama lo!" balasnya.

"Buka dulu, kenapa, sih? Gini cara pelakor ngajarin lo?"

Mendengarkan itu, Fidelya melirik tajam, memang ia marah, tetapi kaki tertahan untuk bangkit. Itu fakta, tak ada yang bisa mengubah apapun, meski tersinggung, jika ia bangkit dan membalas perkataan tersebut, yang ada malah kata-kata Alniyah semakin menusuk. Fidelya tak suka keributan, maka ia akan tetap di sini sampai saudari tirinya itu angkat kaki.

***

Fidelya keluar ruangannya setelah mendapatkan laporan dari para karyawan bahwa Alniyah telah pergi. Ia bernapas lega, ternyata perempuan itu cukup tangguh, bisa menunggunya hingga tiga jam. Alhasil, meskipun hujan telah lama berhenti, Fidelya malah tak bisa bertemu dengan kerabatnya itu.

Pertemuan untuk hari ini dibatalkan, Fidelya kembali mengatur jadwal menjadi besok. Setelah kafe tutup, ia segera pulang dengan menggunakan motor matic-nya yang setia menemani ke mana saja.

Di depan pintu kos, seorang pria berdiri seperti tengah menunggu. Melihat Kadava di sana, membuat Fidelya ingin cepat-cepat menikah dan mencari hunian baru yang tidak akan pernah diketahui oleh pria itu. Ya, tentu akan ada kesepakatan antara dirinya dan Arion, sebelum merahasiakan tempat tinggal.

"Perlu apa lagi?" tanyanya, dingin.

Terdengar helaan napas berat. "Boleh masuk dulu? Kita perlu tempat untuk membicarakan ini."

Fidelya memutar bola mata. "Ruangan saya kecil, nggak pantas untuk orang kaya seperti Anda."

Kadava tersenyum pilu. "Ayah cuma mau omongin tentang rencana pernikahanmu. Arion udah cerita semua, katanya kamu mau pernikahan sederhana. Ayah nggak masalah soal itu, tapi—"

"Ini pernikahan saya, kalau mau datang, ya, datang. Saya nggak butuh pendapat Anda," sela Fidelya.

"Ayah walimu."

"Sialnya emang gitu, kalau bisa diminta, saya nggak bakal mau," Fidelya memutar kunci kamarnya, "kalau mau omongin sesuatu, ke Arion saja. Saya nggak mau ketemu Anda."

Kadava tak memperlihatkan kemarahan, wajahnya selalu menunjukkan rasa sayang yang terbalut kesedihan. "Ibumu pasti marah kalau Ayah yang nggak ngurusin kamu dengan baik."

"Itu urusan kalian berdua," ujar Fidelya, kemudian masuk ke kamarnya dan mengunci pintu rapat.

"Kasih Ayah satu kesempatan sebelum kamu menjadi tanggung jawab pria lain."

Fidelya mendengarkan ucapan tersebut, tetapi tak ada keinginan untuk membalasnya. Ia menuju kasur, dan membuang tubuh di sana. Seharian ponsel tak berbunyi, biasanya Arion akan menelepon atau mengirimkan chat.

Entah apa lagi yang tengah direncanakan oleh lelaki itu. Fidelya berdecak ketika menyadari bahwa tengah menunggu kabar dari Arion, laki-laki yang sebelumnya sering ditolak olehnya.

***

Vote dan komeeeen

Jebakan Pak CEO (END)Where stories live. Discover now