Bab 16 : Keputusan

1K 145 4
                                    

Fidelya membuka matanya perlahan, mendapati cahaya lampu menyilaukan pandangan, langit-langit kamar bercat putih ikut bercahaya, ia menyipitkan mata, mengumpulkan kesadaran setelah terbaring lemah tak berdaya entah berapa lama.

"Kamu udah sadar?" tanya seseorang.

Perlahan ia menoleh, mendapati wajah seorang pria yang beberapa hari ini selalu dilihatnya. Arion David Faresta, sudah sering diusir oleh Fidelya, tetapi masih saja datang menemuinya tanpa pernah merasa terluka dengan setiap kata-katanya.

"Gue ... di mana?"

"Rumah sakit," jawab Arion.

Mendengar itu, Fidelya spontan bangkit, tangan Arion segera menahan pergerakannya, kembali membaringkan ke kasur. Sakit kepala kembali menyerang, perutnya seakan terisi air sedanau, ingin segera memuntahkan, tetapi tertahan di tenggorokan.

"Kamu belum baikan. Gila, gimana bisa ada manusia yang lupa makan." Arion berdecak berkali-kali.

Fidelya penasaran bagaimana bisa Arion berada di sini, siapa yang membawanya ke rumah sakit, dan masih banyak lagi pertanyaan yang ada di kepala. Namun, semua itu tertahan karena sakit yang diderita. Ia memilih memejamkan mata, berusaha kembali ke alam mimpi.

"Jangan tidur, makan dulu. Perutmu kosong," ucap Arion, di tangannya kini terdapat sepiring bubur, "biar aku suap."

"Jangan sok baik."

Arion mendesis, mengguncang pelan bahu Fidelya. "Jangan protes, kamu harus sehat, bentar lagi kita nikah."

Seketika Fidelya membuka mata, menatap protes pada pria itu. "Lo gila? Sejak kapan gue setuju?"

"Bentar lagi bakalan setuju, pasti," cetus Arion, penuh percaya diri, "makan, yuk."

Fidelya mendengkus, kembali menutup mata. Terdengar decakan dari Arion, kemudian disusul suara piring yang diletakkan di atas lemari kecil. Selimut ditarik hingga menutupi dada, Fidelya tidak menghiraukan keberadaan Arion lagi, terserah pria itu mau melakukan apa, asalkan tidak mengganggunya.

"Mau diceritain dongeng?" tawar Arion.

Fidelya bergumam protes, tak habis pikir dengan isi kepala Arion. Bagaimana bisa dengan santainya malah bercanda di saat Fidelya telah menunjukkan tanda-tanda tak ingin menggubris.

"Aku nggak bakalan biarin kamu tidur dalam keadaan perut kosong," Arion berucap lagi, "kenyang adalah salah satu pemicu sembuh, kalau kenyang, hidup bakalan senang," cerocosnya.

Harus Fidelya akui, usaha Arion sangat keras untuk bisa membujuknya, tetapi sumpah demi apapun, yang Fidelya butuhkan hanyalah tidur dengan tenang  tanpa gangguan dari orang lain. Ingin mengusir Arion dari ruangan ini, hanya saja tak punya kekuatan meski sekadar berucap.

"Aku udah temui ayahmu, katanya semua tergantung kamu. Pas balik dari rumahmu, dapat telpon dari Key, katanya kamu nelpon dia dan bilang lagi sakit," cerita Arion, tidak peduli didengarkan atau tidak, "kenapa nggak nelpon aku? Kamu nggak nyimpen nomorku?"

Tidak memberikan respons, Fidelya sengaja agar Arion diam dan tidak berbicara lagi. Ini adalah cara untuk mengusir secara halus, meski Fidelya tahu bahwa tidak akan berguna sebab Arion adalah pria yang tak tahu kata menyerah.

"Terus, ternyata Key nggak tahu kos kamu di mana. Andai dia tahu, pasti sekarang dia benjol aku buat," Arion kembali bercerita, "ternyata ayahmu tahu di mana kosmu, dia lebih perhatian dari siapapun. Sebagai sesama laki-laki yang sayang sama kamu, aku jadi merasa tersaingi."

Meski Fidelya bersikeras tak ingin mendengarkan, nyatanya setiap ucapan Arion malah masuk dengan tenang ke telinganya. Ya, ayahnya adalah orang yang sangat perhatian padanya, tetapi Fidelya tak ingin mengakui itu. Ia benci pada pria itu dan juga perbuatan beliau bersama sang ibu di masa lalu.

"Dia nemenin kamu semalaman, tapi istrinya nelpon dan nyuruh dia pulang. Aku bilang, sekarang sudah saatnya buat aku gantiin ayahmu jagain kamu," Arion tertawa kecil, "sebelumnya ayah kamu ragu, tapi aku dorong keluar kamar."

Fidelya membuka mata, seketika Arion menoleh dan memberikan senyuman.

"Aku tahu, kamu nggak bakalan bisa tidur. Yuk, makan," ucap pria itu, kembali mengambil piring yang berada di atas lemari kecil.

"Kasih tahu gue, gimana caranya bikin lo berhenti?" Fidelya cukup putus asa untuk mengusir Arion, itu mengapa ia bertanya pada yang bersangkutan.

Arion menatap Fidelya, masih dengan senyum lembut yang tak pudar. "Sama kayak ayahmu," ujarnya.

Fidelya menghela napas berat. "Kalau gitu nggak bakalan berhenti."

Arion mengangguk. "Eh, tapi ayahmu mungkin bakalan berhenti kalau kamu udah nikah. Kan, kalau udah nikah, semua tentang kamu jadi tanggung jawab suami."

Fidelya memicingkan mata, menatap intens ke arah Arion. Ucapan itu memang benar adanya, Fidelya sempat berpikir begitu. Namun, ketika mengingat sang ayah menjadi wali di pernikahannya, hal itu malah membuat amarah naik ke ubun-ubun.

"Mau nikah sama aku?" ucap Arion, bukan sebuah tawaran belaka, melainkan keseriusan, "aku ya—"

"Ya udah, ayo," balas Fidelya, menginterupsi ucapan pria itu.

Mata Arion melebar sempurna, tetapi itu sama sekali tidak mengganggu Fidelya. Jawaban itu diputuskan dalam satu detik, setelah pikiran dan hati saling beradu argumen. Pada akhirnya Fidelya mendapatkan jawaban, yaitu siap menjadi istri Arion.

"Dengan catatan, bawa gue menjauh dari Pak Dava," lanjutnya.

***

Aku gak edit, semoga gak typo dan gak ada kata-kata yang rancu.

Jangan lupa vote dan komen 😁

Jebakan Pak CEO (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang