Bab 19 : Dia Berusaha

968 144 5
                                    

Sudah seminggu lamanya Arion belum kunjung menunjukkan batang hidung di depan Fidelya. Kesal, tentu saja, Arion seakan menipunya, tidak memberikan kepastian, dan menghilang begitu saja tanpa jejak.

Fidelya sangat ingin bertanya pada Keyvano, tetapi terus tertahan di ujung lidah. Ia tak ingin dicap sebagai perempuan penjilat ludah sendiri, kemarin mati-matian menolak Arion, tetapi hari ini malah mencari.

Sebuah kebetulan terjadi, Fidelya mengendarai motor matic-nya, tak sengaja melirik ke arah kiri, di mana seorang pria tengah duduk di bangku milik tukang bakso gerobak. Fidelya menghentikan motor, kemudian memutar setir menuju lelaki tersebut.

"Enak baksonya?" tanya Fidelya, penuh dengan tekanan kekesalan.

Lelaki itu menoleh, mendapati wajah Fidelya, malah terbatuk karena terkejut. "Fidel," lirih Arion.

"Hm, ini gue," Fidelya menanggapi dengan santai, tetapi sebenarnya emosi ingin meledak, "masih ingat janji lo?"

Arion mengangguk, mulut penuh dengan bakso. Lelaki itu mengunyah terlebih dahulu, setelah menelan barulah berkata, "aku lagi usaha buat nyari mas kawin."

"Udah gue bilang, nggak perlu," sela Fidelya, cepat.

"Masa nggak ada indah-indahnya nikahan kita. Ini sekali seumur hidup, loh."

Fidelya mendengkus, tatapannya teralih pada pakaian yang dikenakan Arion. Kaus oblong, celana selutut, ada handuk kecil di bahunya, dan sandal jepit yang bahkan sebungkus rokok lebih mahal harganya dari sandal tersebut. Fidelya mengerutkan kening, baru kali ini melihat Arion sangat tidak modis. Ia mengalihkan tatapan pada ke seberang jalan, di sana berdiri sebuah supermarket.

"Lo ... jadi tukang parkir?" tanyanya, sedikit ragu.

Arion tidak menjawab, wajah itu malah memerah karena malu. Fidelya mendapatkan jawaban, mengapa Arion begitu lama hanya sekadar untuk bertemu dengannya. Namun, yang tidak bisa didapatkan jawaban, mengapa Arion begitu susah mencari uang, padahal berasal dari keluarga kaya.

"Lo ... waktu itu pura-pura kaya, atau diusir dari rumah karena ngabisin duit orang tua?" Fidelya asal menebak.

"Mending kamu balik, deh, entar habis kerja aku ke kosan kamu." Arion mengibaskan tangan, seperti tengah mengusir.

"Janji, ya, awas aja enggak." Fidelya segera menyalakan mesin motornya. "Bang, awasi orang ini, biasanya dia habis makan langsung kabur," katanya pada pemilik gerobak bakso tersebut.

***

Ketika kembali dari kafe, Fidelya mendapati Arion telah berada di depan indekosnya. Lelaki itu kini mengenakan kemeja yang terbuka kancing, menampakkan kaus putih, dan celana jeans, sepatunya pun terlihat mengkilap. Benar-benar berbeda dengan Arion yang tadi ditemuinya di pinggir jalan.

"Jangan liat-liat kayak gitu, entar naksir, loh," goda Arion.

Fidelya mendengkus, merasa sikap asli Arion telah kembali, membuatnya memalingkan wajah dan memilih untuk membuka kamar indekosnya. "Lo boleh masuk, tapi dekat pintu aja."

"Nggak boleh duduk?" tanya Arion.

"Boleh."

"Kalau jalan?" tanya Arion lagi.

"Boleh, asal nggak ganggu."

"Ya udah, jam berapa bisanya?" Arion bersandar di sebelah pintu, tersenyum manis pada si perempuan.

Fidelya mengerutkan kening tak mengerti karena balasan Arion sangat tidak nyambung, tetapi detik kemudian ia mengerti maksud lelaki itu. Hanya dengkusan yang diberikan sebagai respons. Arion dan bualannya tak bisa dipisahkan, Fidelya harus terbiasa dengan sikap tersebut.

Ia masuk ke dalam kamar, menyalakan lampu dan menggantung tas ke tempat biasanya. Arion ikut masuk, memilih duduk di sebelah pintu. Fidelya sedikit bersyukur, lelaki itu mendengarkan perkataannya dan tidak protes. Mengambil minuman di dalam kulkas kecil, ia memberikan kepada Arion.

"Jangan protes, gue cuma punya itu doang."

Arion menerima minuman teh dalam kemasan kotak tersebut. "Kamu belum jawab pertanyaan aku."

"Nggak ada waktu, gue sibuk."

Arion mencebik. "Ya udah, kita ngobrol di sini aja," pasrahnya.

"Emang iya," Fidelya duduk di kasurnya, tatapan lurus pada si laki-laki, "jelasin ke gue, kenapa lo ada di pinggir jalan kek tukang parkir."

"Emang Kang Parkir," sahut Arion, enteng, "aku lagi uji coba, temenku nggak percaya kalau aku ngelamar kerja di supermarket punya bokapnya, makanya dia tawarin jadi Kang Parkir, katanya biar aku cepat sadar dan menyerah."

Fidelya tidak langsung menelan penjelasan tersebut. "Bukan karena lo emang beneran miskin, dan selama ini pura-pura kaya di depan gue?"

Arion menghela napas berat. "Aku emang miskin, nggak punya apa-apa. Aku nggak bakal makan kalau bukan karena harta orang tua."

Memutar bola mata, Fidelya merasa bosan dengan penjelasan-penjelasan tersebut. "Terus, kenapa lo ngilang gitu aja tanpa kabar?"

"Nyari duit buat mas kawin, buat tempat tinggal kita nanti, karena aku nggak mau bergantung sama orang tua lagi."

Sekarang Fidelya tahu apa yang tengah dialami Arion. Sebagai sesama pejuang mandiri, ia pun mengerti maksud lelaki tersebut. Maka dari itu Fidelya tidak ingin memperpanjang dan terima saja, asalkan Arion mau menepati janji, semua masalah terselesaikan.

"Kapan kita ke KUA?" tanya Fidelya.

Arion menarik napas dalam, kemudian mengembuskan perlahan. "Besok atau lusa? Aku nggak bisa ninggalin kerjaan terlalu lama, soalnya masih pegawai baru."

"Ya udah, gue minta data diri lo, biar gue sendiri daftarin nikah," ucap Fidelya, "bawa besok, jangan lupa pas foto latar biru."

"Adanya latar merah."

"Buat apa latar merah? Lo mau daftar kuliah?" semprot Fidelya, "pokoknya besok harus lengkap, ya."

"Iya, iya, galak amet. Udah mau nikah, yang manis-manis dong, Sayang." Arion menaik-turunkan alisnya.

"Gue tampol lo!"

***

Vote dan komen

Eeh belum tamat ya 😅

Jebakan Pak CEO (END)Where stories live. Discover now