Bab 21 : Bukan Sementara

1.1K 149 1
                                    

"Gue nggak suka, ya." Fidelya mengerang kesal.

Setelah menghabiskan makan malam bersama, Fidelya berencana untuk bersantai di kasur sembari menonton acara komedi di televisi, tetapi Arion malah ikut berbaring di sebelahnya meskipun sudah didorong untuk menjauh, Arion tetap menempel di kasur bak diolesi cairan perekat.

"Meskipun buat kamu pernikahan ini sebagai pelarian, tapi buat aku ini selamanya," ujar Arion, mengubah posisi tidurnya untuk menghadap ke arah Fidelya, "matiin TV, kita ngobrol sekarang."

"Gue nggak mood ngobrol," timpal Fidelya.

"Kita ini udah hidup bareng, jadinya harus lebih sering ngobrol, buat kebaikan dan masa depan."

Arion merampas remote di tangan Fidelya, kemudian mematikan televisi. Saat itu pula sang istri menatapnya meski dengan tatapan kesal, tetapi Arion sangat bersyukur tatapan mereka bertemu.

"Aku udah mikir tadi, kita nggak bisa selamanya tinggal di sini," Arion mulai membuka topik, "sebagai istri, kamu maunya gimana?"

Fidelya menghela napas kasar. "Gue mau minta beliin rumah, juga, lo nggak mampu beli."

Arion tersenyum kikuk. "Kan, bisa nabung. Siapa tahu besok aku udah diangkat jadi general manager."

"Gue nggak berharap lebih, tapi kalau iya, gue bersyukur. Setidaknya kita bisa tinggal di rumah kontrakan yang punya dua kamar, biar gu—"

"Bisa nggak, kata gue diganti aku, lo diganti kamu?" interupsi Arion.

Fidelya tidak berkomentar, lebih memilih diam. Meskipun telah menikah, ia merasa hubungan mereka tidak lebih dari orang yang baru kemarin akrab. Dipaksa untuk dekat, malah yang ada Fidelya merasa sangat risi dan semakin ingin menjauh.

"Biasain, dong. Kita menikah atas kesepakatan berdua, loh. Kamu mau selamanya bersikap kayak gitu ke aku? Nggak, 'kan?" Arion memasang wajah muram, "kalau kamu nggak mau sekarang, besok-besok juga kamu bakalan tetap sama aku."

"PD banget," judes Fidelya.

Mendapatkan respons tersebut, Arion dengan berani menyentuh pipi sang istri, kemudian tersenyum lembut ketika mendapatkan pelototan. Hei, ia tidak perlu sungkan, bukan? Ini istrinya, bukan lagi jodoh dari perjodohan palsu yang direncanakan sang ayah.

Tangan Arion ditepis oleh Fidelya. Istrinya itu ingin mengubah posisi memunggunginya, tetapi Arion dengan cepat menahan bahu. Tidak akan ia biarkan momen ini berakhir tak sesuai keinginannya.

"Kamu malu, ya?" tebak Arion.

"Lebih ke kesal, sih."

Arion tertawa kecil. "Ya udah, kalau kesal tidur aja, biar aku jagain."

Mana mungkin Fidelya mau tidur di saat ada seorang laki-laki berbaring di sebelahnya. Ia tak bodoh, sudah pasti Arion telah membayangkan adegan dewasa bersamanya. Oleh sebab itu, malam ini Fidelya putuskan untuk tidak tidur dan menjaga diri.

Arion lebih dulu memejamkan mata, Fidelya bisa melihat wajah tenang lelaki itu dengan jarak yang sangat dekat. Jika orang tahu bahwa suaminya adalah Arion, maka mereka pasti berpikir bahwa Fidelya sangat beruntung memiliki suami yang cukup tampan.

Namun, bagi Fidelya tidak, karena cinta belum kunjung datang menghampiri hatinya. Meskipun sebenarnya ia sedikit bersyukur bahwa orang dinikahinya adalah lelaki yang memiliki rasa padanya. Arion sudah berkali-kali mendeklarasikan tentang hal itu, tetapi Fidelya menanggapi dengan sangat santai.

Lama merenung, Fidelya tak sadar kini mata Arion telah terbuka, dan bahkan wajah itu sudah sangat dekat dengan wajahnya. Terkejut, spontan tangannya terangkat ingin memukul, tetapi Arion menahan begitu sigap.

"Mikirin apa, sih?" tanya lelaki itu.

Tidak menjawab, Fidelya hanya mengerang kesal sebab tangannya tak ingin dilepaskan oleh Arion.

"Aku nggak perlu izin buat lakuin ini," ucap Arion, detik kemudian mencium kening Fidelya, "tidur yang nyenyak, jangan lupa mimpiin aku."

***

"Selamat pagi!" Suara seorang laki-laki menyapa Fidelya ketika membuka mata.

Setelah sang ibu meninggal, Fidelya hampir tak pernah lagi mendengarkan ucapan tersebut. Ya, harus ia akui hidupnya terasa hampa saat ditinggalkan, dan tidak bisa dielaknya bahwa kehampaan itu terlupakan ketika dirinya terus mendapatkan cacian di lingkungan baru.

Rumah itu, sudah lama tak pernah ia kunjungi. Namun, Arion dengan tanpa mengucapkan apapun malah menyeretnya pergi ke rumah tersebut. Ucapan Alniyah memang tidak akan bisa menembus sanubarinya, sebab Fidelya sama sekali tidak pernah melakukan hal itu. Hanya saja, ia tak suka namanya tercoreng di depan orang lain.

"Melamun," tegur Arion.

Lelaki yang tengah mengancing kemeja itu, berjalan mendekati Fidelya yang masih berbaring di kasur, satu kecupan di pipi mendarat tanpa protes. Fidelya masih terlalu mengantuk untuk merespons, lagi pula ini masih terlalu pagi baginya untuk bangun.

"Aku harus pergi cepat, karena tempat kerjaku jauh," Arion menjauh dari Fidelya, menuju rak sepatu, "oh iya, itu kartu debitku di atas meja. Isinya cuma cepek, sih, tapi nanti bakal nerima tranferan gaji. Kamu yang pegang."

"Pulang jam berapa?" tanya Fidelya, setelah merasa kantuk telah pergi.

Arion menoleh, kemudian tersenyum. "Sorean."

Hanya anggukan yang Fidelya berikan, kemudian berbalik untuk kembali tidur. "Kunci pintunya kalau udah keluar, terus masukin kuncinya di bawah pintu."

Arion mendengkus. "Kirain kamu bakalan anterin aku sampai parkiran. Ngomong-ngomong, aku beliin sarapan, ada di atas meja. Aku pergi dulu."

Setelah kata pamit tersebut, Fidelya mendengarkan pintu tertutup dan suara Arion benar-benar menghilang bersama derap langkah yang mengecil. Fidelya segera bangun, menyentuh letak jantungnya yang hampir keluar karena sangking terkejut dengan ciuman tiba-tiba dari Arion.

"Gue udah gila!" gerutunya, sembari mengacak rambut.

***

Vote dan komen

Jebakan Pak CEO (END)Where stories live. Discover now