Ch 3

8K 1.1K 23
                                    

Adelia merupakan anak bungsu dari dua bersaudara. Orang tuanya cukup kaya. Tapi, mereka selalu sibuk dengan pekerjaan. Dan jarang memiliki waktu untuk kedua anaknya. Meski begitu, kedua orang itu selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama di rumah.

Adel juga memiliki seorang kakak laki-laki, bernama Erlando Alister.

Ketika Lia sampai di rumah Adel, Erland sudah berdiri di teras depan. Tampak bersedekap, memandang Lia dengan tajam. Tapi, ekspresinya tidak membuat Lia takut. Gadis itu malah tersenyum tanpa beban. Seolah tidak memiliki kesalahan apapun.

"Good morning, kakak!" sapanya.

Erland mendelik. "Ini siang."

Lia cengengesan. Ia memang sengaja menyapa pemuda itu dengan asal.

Tampaknya, sosok dari kakak Adel ini merupakan pribadi yang jauh dari kata hangat. Dilihat dari ekspresinya yang datar, dan cara bicaranya yang dingin. Lia rasa, kehidupannya di rumah ini akan sedikit membosankan, jika ia memiliki kakak semacam ini.

"Kenapa baru pulang?" tanya Erland.

Biasanya, Adel akan sampai di rumah pada pukul satu siang. Tapi, saat ini sudah hampir menunjukkan pukul tiga. Dan adiknya itu baru sampai di rumah. Mungkin dari luar Erland terlihat marah. Tapi, sebenarnya ia hanya khawatir.

"Gue nyasar." Lia menjawab jujur.

Ia lupa jalan pulang.

Bukan.

Lebih tepatnya, Lia memang tidak mengetahui kemana ia harus pulang. Untungnya, Lia bertemu dengan seorang pemuda yang sepertinya satu sekolah dengannya. Terlihat dari seragam sekolah mereka yang sama. Lia memaksa pemuda itu untuk mengantarnya pulang ke rumah. Setelah bertanya, apakah pemuda itu mengetahui alamat rumahnya.

Lia memaksa.

Ia menjambak rambut pemuda itu selama mereka berada di atas motor. Hanya agar pemuda itu mau mengantarnya ke rumah hingga selamat.

Setelah sampai, Lia berterima kasih padanya. Tapi, pemuda itu tidak menanggapinya. Ia langsung melajukan motornya dengan ekspresi takut yang kentara. Tampaknya, sikap Lia berhasil membuat mentalnya terguncang.

Melihat hal itu, Lia tertawa terpingkal-pingkal.

Heh! Gue antagonisnya di sini. Takut kan lo?

Tidak ada perasaan bersalah sama sekali. Sepanjang ia berada di dunia novel ini, hal yang bisa ia syukuri adalah karena perannya sebagai antagonis, membuat dirinya banyak disegani dan ditakuti oleh orang-orang di sekitarnya.

Hal itu tentu saja menguntungkan bagi Lia.

"Adel!"

Seruan Erland membuat lamunan Lia buyar. Ia kembali menatap kakaknya itu dengan ekspresi lugu.

"Ya kak? Lo ngomong sama gue?"

Erland menahan kesal. Adiknya itu malah melamun di saat dirinya bicara. Padahal sedari tadi Erland menunggu penjelasannya, mengapa Adel bisa sampai tersasar. Tapi, ekspresi lugu yang ditunjukkan adiknya itu membuat Erland malas melanjutkan interogasinya.

"Udah, kamu masuk sana!" titah Erland, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah kali ini. Yang terpenting, adiknya itu sampai ke rumah dengan selamat.
"Ganti baju. Habis tuh makan!"

Lia menekuk siku, meletakkan tangan di depan kening.
"Siap bos!"

Setelah adiknya itu masuk ke dalam rumah, Erland menghembuskan nafas kasar. Entah kenapa, Erland merasa ada sesuatu yang berbeda saat ia melihat Adel hari ini. Seperti, bukan adiknya yang biasanya.

****

Kedua mata Lia berbinar melihat makanan yang tersaji di depannya saat ini. Erland sendiri yang memasak untuknya. Karena pembantu di rumah mereka sedang cuti untuk sehari.

Entahlah, Lia tidak begitu peduli.

Erland duduk di kursi, memperhatikan adiknya menyantap makanan yang baru ia masak. Terlihat lahap dan kelaparan. Hingga rasanya, seperti bukan melihat adiknya makan. Melainkan seekor kucing jalanan yang sudah berhari-hari tidak menemukan ikan.

Erland menggelengkan kepalanya. Menepis bayangan menggelikan tentang adiknya itu.

Tidak butuh waktu lama hingga semua makanan dalam piring Lia habis tidak bersisa. Gadis itu meminum segelas airnya. Lalu bersendawa dengan keras. Hal itu berhasil membuat Erland bergidik jijik melihatnya.

Lia menepuk perutnya yang sudah terisi dengan penuh.

"Kamu bisa sopan sedikit gak?" ketus Erland.

Lia menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
'Apa salahnya?'

"Kamu gak bisa sendawa sembarangan. Apalagi di depan orang lain"

"Ya ... kak Erland kan kakak gue," tukas Lia membela diri. Ia tidak terima disalahkan. Apalagi hanya karena masalah sepele semacam ini.

"Kesopanan itu dimulai dari orang terdekat, Adel." Erland berusaha mengingatkan. Ia tidak ingin adiknya jadi orang yang tidak tahu aturan. Tapi, gadis itu seperti tidak peduli, hingga Erland mulai merasa kesal.

"Ribet amat dah." Lia melengos, bersiap pergi. "Kalo gak ikhlas ngasih gue makan. Bilang!"

"Emang kalo iya, kenapa?! Kamu mau bayar?"

"Gue muntahin lagi!"

****

Trapped In The Book StoryWhere stories live. Discover now