Ch 10

6.7K 933 9
                                    

"Evan."

Safa berdiri di depannya. Menghentikan langkah Evan di koridor yang lumayan sepi. Jam pelajaran tengah berlangsung, tapi Evan memutuskan untuk bolos. Lagipula di kelasnya sedang tidak ada guru. Mereka hanya diberi tugas.

Sekarang Evan heran, kenapa Safa bisa berada di luar? Apakah cewek itu juga membolos?

"Lo gak masuk?"

"Aku baru dari toilet," jawab Safa. Cewek itu menunduk memilin ujung pakaiannya gugup. "Emm, Evan. Kenapa sekarang, kamu kayak ngejauh dari aku?"

Evan tidak pernah lagi menemuinya ke kelas. Setelah pertengkaran terakhir di kantin. Di mana itu merupakan hal terparah yang terjadi pada Safa. Harusnya sejak itu, Evan bertambah khawatir padanya. Dan berusaha untuk lebih melindunginya.

Ya,

Seharusnya begitu.

Tapi, sebaliknya. Evan justru terlihat menjauh dan mulai mengabaikannya. Ini aneh bagi Safa. Selama dua tahun, mereka bersama dan mulai berteman dekat. Baru kali ini Evan secuek ini padanya. Padahal Safa kira, mereka bisa lebih dari ini.

"Adel udah gak gangguin lo lagi," ucap Evan.

Itu adalah alasan kenapa ia tidak perlu lagi berada di sisi Safa. Memang untuk apa? Sedangkan ia tahu Adel sudah tidak menargetkan Safa lagi.

"Terus kenapa?" Safa tidak mengerti.
"Meskipun Adel udah gak gangguin aku. Kita seharusnya masih bisa deket, kan?"

Mereka dekat, dan berteman. Bahkan orang-orang berpikir mereka tidak lama akan berpacaran. Lalu kenapa, semua berubah? Sejak Adel mulai menunjukkan perubahan, seolah semua ikut terpengaruh

"Gue gak suka terikat, Saf," ucap Evan, ia sama sekali tak peduli pada raut wajah Safa yang tampak sakit mendengar perkataannya. "Alasan gue disisi lo, cuman karena rasa tanggung jawab. Karena gue, Adel gangguin lo."

Safa berusaha menahan sakit di dadanya. Ia tahu alasan Evan selama ini. Tapi, ia pikir setelah lama mereka bersama, Evan mungkin mulai menaruh hati padanya.

Sama seperti Safa saat ini.

"Kalo Adel udah gak gangguin lo, kayak sekarang. Buat apa gue masih bertahan di deket lo?"

Safa menebalkan muka. Menepikan rasa malu dan harga diri. Hanya untuk meraih tangan Evan. Membuat cowok itu kaget karena sikapnya yang agresif tidak seperti ia yang biasanya.

"Aku ... aku suka sama kamu."

Evan tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari perasaan Safa. Tapi ia tidak mudah untuk menyukai seseorang. Apalagi membalas atau menerima hanya karena kasihan.

Secuil pun, ia tak memiliki ketertarikan pada Safa.

"Selama deket kamu. Aku ngerasa nyaman, aman." Safa menyuarakan isi hatinya yang sesungguhnya. Ia tak akan membiarkan Evan pergi sebelum ia tahu perasaannya. Mungkin dengan seperti ini, Evan tidak akan meninggalkannya. "Dan, aku berharap bisa jadi seseorang yg spesial buat kamu. Aku harap kita bisa, jadi lebih dari temen."

Evan membuang pandangan.

Keadaan hatinya masih kacau. Ia tak memiliki mood untuk meladeni Safa dan rancauannya soal perasaan. Entah kenapa, mendengar kata-kata Safa membuat Evan muak.

"Lepas." Evan melepaskan tangannya paksa.

Safa menatapnya, dengan mata yang mulai mengembun.

Evan tahu, cewek itu berusaha sekuat tenaga menahan air matanya.

"Gue gak mau nyakitin lo." Evan menaruh tangannya di pundak cewek itu. Tatapannya seolah menegaskan jika apa yang ia katakan saat ini adalah kejujuran yang harus Safa terima. Suka tidak suka.

"Gue gak ada perasaan apapun sama lo."

Air mata Safa turun, ia gagal menahannya.

"Kalo gue bohong, bukan cuman lo, tapi gue juga bakal terluka karena maksain diri nerima lo yang gak gue cinta sama sekali."

Sudah cukup, apa tidak bisa Evan menghentikan ucapannya? Tidak cukupkah dia menolaknya secara singkat?

Safa menunduk, menyentuh tangan Evan di pundaknya. Ia tersenyum perih.

"Evan jahat ya?"

Evan tahu itu. Ia tak bisa menyangkal sama sekali. Karena melukai hati seseorang bukan tindakan yang bisa dibilang baik.

"Aku pikir kamu beda sama yang lain. Karena kamu baik sama aku. Dan berusaha ngebela dan ngelindungi aku." Safa memejamkan matanya, air matanya mengalir deras.

"Tapi, semudah itu kamu ngehempas aku dari kenyataan." Cowok yang ia suka, tidak memiliki perasaan yang sama dengannya.

"Lo suka sama orang yang salah."

Safa membuka matanya lagi, mendongak menatap Evan yang lebih tinggi darinya.

Cowok itu melepaskan tangannya dari tubuh Safa. Menghembuskan napas kasar.

"Dari dulu, gue cuman pernah suka sama satu cewek. Dan sampe sekarang, gue belum bisa lupain dia."

Safa mengernyit, merasa penasaran.

Benar, sejak awal ini memang kesalahannya. Seharusnya ia sadar diri. Orang sepertinya tidak mungkin bisa bersama Evan. Cowok itu terlalu sempurna untuk digapai.

Tidak pantas bagi Safa untuk bersanding dengannya.

"Dia menuhin hati dan pikiran gue sampe gak ada celah buat gue suka sama cewek lain"

Meski mengatakan begitu, suara Evan terdengar menyedihkan.

Safa jadi bertanya-tanya, apa perasaan yang Evan punya hanya berlaku sepihak?

Benarkah orang seperti Evan pun bisa mengalami cinta bertepuk sebelah tangan?

Rasanya sulit dipercaya, ada seseorang yang tidak bisa digapai oleh seorang yang sempurna seperti Evan.

Pada akhirnya, Safa tak bisa menahan rasa penasarannya hingga satu pertanyaan tercetus begitu saja dari mulutnya.

"Siapa?"

Evan menatapnya, sudut bibirnya naik melukis senyum sedih.

"Adel."

Safa tertegun.

"Adelia Safira."

****





___________________

Evan sebenarnya udah suka sama Adel sejak kecil. Tapi dia belum cukup ngerti sama perasaannya sendiri. Waktu Evan jauhin Adel, dia cuman ngerasa marah sama perubahan Adel.
Evan mulai sadar sama perasaannya sewaktu Adel mulai berhenti ngejar dia.
Evan baru ngerasa kehilangan.

Trapped In The Book StoryWhere stories live. Discover now