Ch 6

7.2K 1K 55
                                    

Atas kasus pembullyan yang Safa alami, pihak sekolah pun turun tangan. Mereka melakukan penyelidikan. Dan akhirnya terkuak jika pelaku pembullyan itu bukanlah Adel. Melainkan tiga siswi yang tidak menyukai Safa.

CCTV di luar toilet yang menjadi bukti atas kejadian itu. Pada akhirnya, mereka yang awalnya menyudutkan Adel, dirundung perasaan bersalah. Terutama bagi Evan dan ketiga temannya.

Orang-orang yang semula menyalahkan Adel pun berbalik bersimpati pada gadis itu. Mereka juga merutuki sikap Evan dan teman-temannya yang menyalahkan Adel begitu saja, tanpa mencari bukti lebih dulu. Pun dengan Safa, karena gadis itu tidak meluruskan masalah yang terjadi. Jika saja gadis itu mau membuka mulutnya, mungkin kejadian ini tidak akan menjadi sebesar ini.

****

"Kakak denger kamu dapat masalah kemarin."

Lia menatap Erland di depannya. Hubungannya dengan Erland baik-baik saja walau jarang berinteraksi. Setidaknya tidak ada lagi perang dingin di antara mereka. Hanya kadang sesekali terlibat adu mulut.

"Iya," jawab Lia, tetap melanjutkan makan siangnya. Tapi sepertinya, Erland tidak membiarkannya makan dengan tenang kali ini.

"Kamu bikin masalah apa lagi?" tanya Erland.

Lia mendengus. Ia mulai kehilangan selera makannya. "Gue gak ngelakuin apapun."

Erland bersandar di kursi, bersedekap. Ekspresinya menunjukkan jika ia tidak percaya pada apa yang Lia ucapkan.

Lia menghela nafas kecil. Walau kesal karena Erland tidak mempercayainya dengan mudah, Lia tetap berusaha menjelaskan apa yang terjadi.

"Gue lagi makan di kantin. Tiba-tiba tuh bocah-bocah bau kencur dateng maki-maki gue. Nuduh gue tanpa bukti. Lah, gue lawan lah. Secara gue kan gak salah. Gue juga marahin tuh cewek yang udah mirip kucing jalanan. Tapi pawangnya malah ngamuk. Gue didorong ampe kepentok meja, bakso gue juga jadi tumpah."

Erland tampak mengangkat sebelah alisnya, merasa heran saat Lia terlihat lebih peduli pada makanannya.

"Gara-gara tuh orang, gue belum sempet makan. Gue jadi emosi. Apalagi dia bikin bakso gue kebuang gitu aja. Mana tetep harus bayar lagi." Lia menggerutu "Gue hajar aja tuh orang. Gue tendang, gue jambak, gue pukul. Ampe dia teriak-teriak kesakitan."

Erland menggelengkan kepalanya.

Tindakan Lia menghajar Evan memang membuat semua orang kaget, mungkin orang yang melihatnya akan berpikir ia tengah kesurupan saat itu, apalagi melihat tingkahnya yang beringas. Tapi, bukankah Lia sendiri sudah memperingati mereka untuk tidak mengusiknya. Karena macan betina akan menjadi liar saat merasa dirinya terusik.

Sekarang, Evan sudah merasakannya.

"Dia ada ngelakuin apa lagi sama kamu?" tanya Erland.

"Hm?"

"Dia ada mukul kamu? Nampar kamu?"

Lia memikirkannya sebentar, lalu menggeleng.
"Nggak sih. Cuman didorong doang ampe kepentok meja dan kesiram bakso. Terus ada cengkram tangan sama muka gue. Nih! Mana jadi lebam kayak gini. Emang dasar laknat tuh orang," ucap Lia menggerutu.

Ia pun menunjukkan bekas di tangannya akibat ulah Evan. Tapi, Erland hanya meliriknya sekilas. Tidak ada ekspresi berarti di wajahnya. Seolah ia memang tidak peduli.

Lia merapatkan bibir, menahan kesal.

'Oke sabar, orang sabar disayang tuhan.'

Lia pikir, Erland bertanya karena khawatir. Dan akan marah saat Lia mengatakan semuanya. Siapa sangka, kakaknya itu malah terlihat biasa saja dan tidak peduli.

'Boleh gak sih gue bunuh aja ni orang? Gue ikhlas kok jadi anak tunggal.'

****

Evan kecewa, karena Safa tidak mencegahnya sewaktu ia menuduh Adel sebagai pelaku pembullyan. Wajar saja Adel marah dan tidak terima, karena gadis itu memang tidak bersalah.

Evan juga tidak bisa menyalahkan Safa sepenuhnya. Karena gadis itu memang tidak melihat siapa pelaku pembullyannya. Ia diguyur dari atas ketika berada di balik bilik toilet.

Evan lah yang paling bersalah di sini. Ia bergerak berdasarkan insting. Hingga lupa jika ia memiliki logika untuk berpikir. Evan seolah lupa semua tindakan Adel sebelumnya. Walau tidak menyukai Safa, gadis itu tidak pernah bertindak melewati batas.

Evan memejamkan matanya erat, merasa begitu bersalah. Helaan nafas berat keluar dari mulutnya. Mau tidak mau ia harus meminta maaf pada Adel. Karena ia benar-benar bersalah kali ini.

Rasa bersalahnya kian bertambah saat ia mengingat telah memperlakukan Adel dengan kasar sebelumnya. Apa mungkin gadis itu akan mau memaafkannya?

"Lo yang namanya Evan?"

Evan menoleh.

Di jembatan sisi trotoar ini, ia sengaja menepi. Hanya untuk mencari ketenangan. Siapa sangka, seseorang yang asing akan menghampirinya. Mobil orang itu berhenti tepat di depan motor Evan.

"Iya."

"Sekolah di SMA 17?"

Evan mengangguk. Tetap menjawab, walau merasa aneh dengan pertanyaan pemuda itu.

Orang itu mengangguk samar. Ia terlihat mengotak-atik handphonenya sebentar, lalu menunjukkan sebuah gambar dari layar handphonenya itu pada Evan.

"Kenal dia?"

Evan tercenung. Ia menatap foto itu dan si pemilik handphone bergantian.

"Ya, gua sama Adel sekelas."

"Okay." Orang itu mengantongi handphonenya lagi. "Gue rasa udah cukup"

Evan tidak mengerti maksud pemuda itu, tapi sesaat kemudian ia terkejut oleh tindakan yang dilakukannya.

Orang itu menendang Evan tiba-tiba. Hingga Evan nyaris tersungkur. Rasa sakit di perutnya luar biasa. Orang itu tidak main-main mengeluarkan kemampuannya.

"Ini buat lo yang udah nyakitin orang yang gue sayang," ucap dia.

Seolah belum cukup, orang itu kembali menyerang Evan. Seperti memang tidak akan berhenti sebelum membuat Evan babak belur.

Evan tentu saja berusaha melawan. Tapi, perbandingan kemampuan mereka cukup jauh, sehingga ia jadi kewalahan. Evan harus beberapa kali menerima pukulan dan tendangan yang menimbulkan rasa nyeri. Dan sialnya, setiap Evan menyerang, lawannya malah bisa menghindar dengan sangat mudah.

Mendadak Evan merasa seperti seorang pecundang.

****

Memasuki rumahnya yang sudah tidak asing lagi dengan keheningan, Erland menemukan Adel yang tengah menonton televisi di ruang keluarga. Adiknya itu menoleh ketika menyadari kehadirannya.

"Kok baru pulang? Abis dari mana?" tanya Adel.

Di tangannya ada sekantong keripik kentang yang pasti diambil dari lemari penyimpanan. Bukan hanya satu, ada lebih dari lima bungkus besar yang tercecer di meja.

Adiknya yang lembut kini lebih mirip babi pemalas.

"Ada urusan bentar." jawab Erland. Pemuda itu berjalan masuk.

Saat melewati Adel, ia sempatkan mengacak puncak kepala gadis itu. Adiknya itu memberenggut, karena ulah Erland rambutnya jadi berantakan.

"Urusan apa emang?" Adel bertanya penasaran.

Langkah Erland berhenti di anak tangga pertama. Ia menarik sebelah sudut bibirnya tanpa Adel ketahui.

"Cuma ngasih pelajaran bocah ingusan."

****





______________________

Memang, lebih banyak diam itu baik, daripada banyak bicara hal yang tidak penting. Akan tetapi, bicaralah di saat itu diperlukan. Karena diammu terkadang malah membuat banyak kesalah pahaman.

Trapped In The Book StoryWhere stories live. Discover now