Ch 11

6.6K 826 7
                                    

Lia berdecih, ia membalikan badannya setelah selesai menonton drama murahan yang tak sengaja ia temukan di koridor sekolah.

Ia kira, ia akan melihat adegan romantis karena saat pertama menemukan mereka, mereka sedang berpegangan tangan.

Siapa sangka, cewek yang baru menurunkan harga dirinya hanya untuk menyatakan perasaan pada si tokoh utama. Harus mengalami keretakan hati, karena ditolak.

Kasihan.

Padahal Lia kira, semua kan berjalan sesuai ekspetasi. Karena apa yang terjadi sudah tertulis dalam novel.

Lia menyandarkan punggungnya di dinding koridor hanya untuk mengetuk dagu, berpikir.

Kenapa Evan gak suka sama Safa? Padahal kan mereka tokoh utama. Dan, kenapa Evan bilang dia suka nya sama Adel? Apa, emang sebenernya gitu?

Lia menggelengkan kepala. Sepertinya ia tak salah mengingat. Adel adalah tokoh antagonis. Akhirnya adalah mati bunuh diri karena depresi, tidak bisa terima Evan lebih memilih Safa hingga mereka bertunangan.

Tragis, setiap antagonis memang memiliki akhir yang menyedihkan.

Seolah tersadar sesuatu, Lia mulai berpikir. Apa mungkin dengan memilih jalan untuk tokoh Adelia, ia bisa keluar dari dunia ini?

Mungkin, dengan membuat Adelia menemukan kebahagiaannya sendiri. Lia bisa kembali.

Ya, mungkin.

Itu bahkan belum pasti. Tapi Lia akan mencoba.

"Adel?"

Lia menoleh, menemukan Evan yang tampak kaget melihat keberadaannya. Sepertinya pembicaraan antara cowok itu dan Safa sudah selesai.

"Lo, sejak kapan ada di sini?" tanya Evan, Lia bisa melihat cowok itu sedikit gelisah.

Mungkin ia takut jika Lia mendengar perbincangannya.

Ah, lu telat bang. Gue udah denger semuanya. Bahkan pengakuan lo yang suka sama Adel.

Lia tidak merasa terbang walau tahu cowok di depannya ini naksir pada si antagonis. Karena Adelia yang sesungguhnya bukan dia.

Dan, Lia bukan tipe orang yang gampang naksir sama orang. Gak kayak Evan yang keliatan gampangan.

Bahkan dengan digoda sedikit saja, Lia yakin Evan bakal langsung kelepek-kelepek.

Percaya diri sekali.

"Ah, gue lupa," jawab Lia. Ia pun tak tahu selama apa ia termenung di sini. Ia sibuk memikirkan kemungkinan ia untuk keluar dari dunia novel ini. "Lo sendiri ngapain di sini?"

Mendengar jawaban Lia yang sepertinya memang tidak mengetahui apapun tentang percakapan ia dan Safa. Evan merasa lega.

"Gue ... bolos," jawab Evan.

Tidak aneh bagi seorang cowok untuk bolos. Lagipula, mereka sekelas. Dan Lia sendiri tahu kelas mereka saat ini sedang kosong. Jadi ia juga bebas berkeliaran. Walau sesekali harus ngumpet saat berpapasan dengan guru atau OSIS.

"Mau bolos sama gue?" tawar Evan.

Hubungan mereka begitu buruk terakhir kali. Evan ingin memperbaiki semuanya. Tidak lagi dengan kata maaf, karena kata itu selalu berakhir kesialan. Jadi, daripada ucapan. Evan lebih memilih bergerak dengan tindakan.

Lia tahu, dekat dengan tokoh utama bukan hal bagus baginya. Bisa saja itu malah menyulitkan dirinya sendiri ke depannya.

Tapi, untuk kali ini tawaran bolos cukup menggiurkan. Lia sendiri merasa butuh menghirup udara bebas setelah lama menjalani kehidupan asing di dunia palsu ini.

Jadi, ia membalas uluran tangan Evan. Membuat Evan tersenyum semringah.

Ia menggenggam tangan mungil itu erat. Seolah berjanji pada dirinya sendiri, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan kali ini.

"Kalian bolos?!"

Dua remaja itu menoleh serempak. Menemukan Theo yang sedang berpatroli mencari para pelanggar. Dan secara kebetulan, ia menemukan sejoli yang tengah berpegangan tangan.

Pas sekali, penggaris besi di tangannya siap menampar tautan tangan mereka.

Sebelum Theo melangkah mendekat. Lia dan Evan saling berpandangan, memberi kode lewat mata. Dan ...,

"Hei, jangan lari!" teriak Theo.

Percuma mengejar. Laju sepasang remaja itu ternyata lebih cepat dari kuda. Hingga Theo menyerah di langkahnya yang keempat.

Oke, dia memang malas mengejar para pelanggar yang memiliki langkah panjang.

Tapi, ia berjanji akan menghukum mereka keesokan harinya.

****

Tautan tangan mereka bahkan masih belum terlepas saat mereka berlari kencang menghindar dari Theo yang sama sekali tidak menyusul mereka.

Dua remaja itu tertawa. Menertawakan aksi konyol mereka.

Tak selesai di situ, mereka juga memanjat pohon mangga, melewati benteng belakang sekolah untuk bisa melarikan diri. Dan bolos untuk satu hari.

"Kita mau kemana?" tanya Lia saat mereka sudah berada di luar area.

Dia bahkan tak sadar jika Evan masih memegang tangannya. Untuk kali ini, ia lupakan jika cowok itu merupakan orang yang sudah berkali-kali membuatnya kesal setengah mampus.

"Lo maunya kemana?" tanya Evan. Ia tak ingin salah memilih tempat. Jadi ia langsung bertanya pada Lia.

"Kemana aja, asal seru," jawab Lia "dan, ada makanan." Tentu saja. Makan is nomer one.

Evan terkekeh, pun dengan Lia.

Cewek itu mengusap perutnya dan memelas. Ternyata cacingnya sudah mulai berdemo.

"Gue laper."

Evan tertawa seketika. Ia tidak tahu jika Adel bisa selucu ini. Jika ia menyadari lebih awal, mungkin ia tak akan menyia-nyiakan waktu sebelum-sebelumnya, hanya untuk menjauh dan memusuhinya. Dan berdiri di sisi yang sama sekali tidak ia inginkan.

Seharusnya, tempat saat ini ia tempati sejak dulu. Jika saja Evan tidak egois, dan mengambil sikap yg salah. Ia tak akan kehilangan banyak moment seperti ini.

Evan mengusap puncak kepala cewek itu.

"Oke, kita cari makan dulu."

****

****

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.
Trapped In The Book StoryWhere stories live. Discover now