Ch 8

7K 986 5
                                    

"Adel!"

Lia menghentikan langkahnya. Ada Evan empat langkah di depannya. Raut wajah menyesal tergambar di wajahnya yang penuh lebam. Lia tidak tahu siapa yang membuat Evan sehancur ini, tapi rasanya ia ingin berterima kasih pada orang itu.

Cowok kayak dia emang pantes dihajar!

Saat Evan mendekat, Lia mengambil langkah mundur.

Evan terlihat menghela nafas, ketika Lia terus menghindarinya.

"Gue minta maaf."

"Oh, kerasukan apa lo ampe minta maaf ma gue?" tanya Lia mencibir, "Udah dapet hikmah lo?"

Evan tidak menjawab. Kepalanya masih tertunduk penuh penyesalan.

Kini giliran Lia yang berdiri di hadapannya dengan wajah angkuh, sembari melipat kedua tangannya di dada. Keadaan mereka sudah berbalik.

"Gue masih inget kemarin lo ngotot kalo apa yang terjadi sama Safa itu salah gue," sindir Lia. Dan Evan tidak bisa membalas. "Dia mati sama preman jalanan pun kayaknya gue yang bakal dipenjara, ya kan?"

Evan menggeleng. Kali ini ia mengangkat wajahnya untuk menatap Lia.
"Nggak! Nggak gitu, Del!"

Sekali lagi Evan melangkah, Lia lagi-lagi mundur menjauhinya.

Lia melihat Evan mengepalkan kedua tangannya, terlihat tidak terima. Tapi Lia memang tidak mau berdekatan dengan orang bodoh sepertinya.

Sikap Evan kemarin cukup membuat Lia sakit hati. Dan ia tidak akan semudah itu menerima permintaan maafnya, walau tahu Evan benar-benar menyesal.

"Apa?! Yang gue omongin bener, kan?" tanya Lia sinis. Percakapan mereka tempo hari masih terekam jelas di ingatan.

Di kehidupan nyata, Lia tidak pernah mau serepot ini. Biasanya, ada saudara kembarnya yang akan siap memasang badan ketika Lia mendapat masalah semacam ini. Sehingga Lia hanya perlu diam menonton, membiarkan kembarannya itu membelanya habis-habisan.

Kini, di sini ia sendirian. Lia harus mau menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Lia merasa ini benar-benar merepotkan.

"Udah deh. Lo gak usah sok-sokan minta maaf," ucap Lia mengibaskan tangannya. "Kalo ujung-ujungnya entar ada lagi tuduhan-tuduhan lainnya yang elo layangkan ke gue."

Lia mendekat, mendorong Evan hingga mundur.

"Maaf lo gak guna!"

Dia berbalik. Dan pergi meninggalkan Evan dengan rasa penyesalannya.

****

Lia tidak percaya jika semudah itu Evan akan meminta maaf. Memang seharusnya dia tahu diri, karena sudah melakukan kesalahan dengan menuduh Lia waktu itu.

Tapi, bukankah pemuda itu terlalu percaya diri, jika setelah ucapan dan tindakannya yang melukai Lia, Evan masih berpikir Lia akan dengan mudah menerima maafnya?

Jika dengan memaafkan rasa sakit hati itu bisa langsung hilang, Lia pasti akan melakukannya. Tapi kenyataannya, luka itu akan tetap membekas walau Evan sudah menyesal dan meminta maaf. Lia memilih membiarkan pemuda itu dengan perasaan bersalahnya.

"Adel!"

Langkah Lia berhenti. Ia mengernyit bingung saat mendapati tiga pemuda yang merupakan teman Evan, berjajar rapi di hadapannya. Mereka meletakkan tangan tepat di dada. Lalu membungkuk sembilan puluh derajat, dan berkata dengan serempak.

"Kami minta maaf!"

Sesaat Lia tidak bisa berkata-kata. Demi Tuhan, tingkah mereka itu menggelikan. Lia bergidik, dan segera berjalan cepat menjauhi mereka.

"Adel!"

"Ini gimana permintaan maafnya diterima gak?"

"Del, kok malah langsung pergi sih?"

"Dimaafin gak nih? Adel!"

Lia menutup kedua telinganya dengan erat.

'Bodo amat!'

Lia bahkan tidak peduli pada permintaan maaf mereka, jika cara yang mereka lakukan seperti itu. Tingkah Evan dan ketiga temannya membuat Lia sadar jika dari keempat pemuda itu tidak satupun dari mereka yang otaknya benar-benar beres.

****

Lia sampai di rooftop. Ia bersandar di pagar beton pembatas, sembari menghela nafas berat.

"Sumpah ya, emang gak ada yang lebih waras dari gue," gumam Lia tidak habis pikir.

Ketika tengah asik menikmati sejuknya angin, Lia dikejutkan oleh suara seseorang yang menginterupsi.

"Lo bolos?!"

Lia berbalik. Sosok yang dilihatnya itu membuat kedua mata Lia melebar. Ia sangat terkejut.

Bibirnya yang bergetar, berucap dengan pelan, "Lio?!"

Lia langsung berlari memeluknya, tanpa memperdulikan raut wajah bingung pemuda itu. Lia bisa merasakan tubuh pemuda itu menegang karena tindakannya. Tapi Lia terlalu senang, hingga ia mengabaikan semua keanehan itu.

"Lio, gue gak nyangka banget bisa ketemu lo di sini."

"Gue gak ngerti apa yang lo omongin."

Lia mendongak, wajah pemuda yang mirip dengan kembarannya itu terlihat amat jengkel. Mungkin karena ulah Lia yang memeluknya.

'Hellow, harusnya lo seneng dong dipeluk ama cewek cantik? Kapan lagi coba?'

Lia tidak mengerti kenapa pemuda itu berkata demikian. Bersikap seolah dia tidak mengenal Lia. Apa Lia salah orang?

"Gue bukan Lio yang lo maksud," ucap cowok itu meluruskan.

Perlahan, Lia melepaskan pelukannya. Selangkah mundur guna memberi jarak, dan dapat ia lihat nametag yang cowok itu tunjukkan di seragamnya.

"Nama gue Theo," ucap cowok itu menegaskan.

Lia masih membungkam. Tidak paham, kenapa bisa di dunia terkutuk ini ada seseorang yang amat mirip dengan kembarannya sendiri.

"Matteo Marcello Addison."

****




_______________________

Btw, Lia dan kembarannya, Lio. Itu kembar tak identik. Jadi, wajar kalo Lia liat seseorang yang mirip Lio, tapi gak mirip sama dia sendiri.
Ngerti gak sih? 😅

Trapped In The Book StoryWhere stories live. Discover now