Part 10

12 12 18
                                    

Sehabis isya, aku bersiap ke kosan Ibrahim. Aku sudah minta ijin kepada ibuku. Ayah? Tidak aku masih sadar diri, beliau pasti sangat kecewa padaku.

Berangkat menuju kosan Ibrahim.

Tidak sampai 15 menit, aku sudah berada di depan kosan nya. Kulihat Ibrahim keluar dan mengunci kosan. Rupanya dia sudah bersiap dan menungguku.

"Ayo, mau menyetir?" Tawar ku.

"Oke."

Diperjalanan kali ini dia yang menyetir motor. Aku hanya memandang sekitar jalanan, karena tidak mungkin aku mengajaknya mengobrol, kalau dia hilang fokus dan menabrakkan motor kan tidak lucu.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku menepuk pundaknya, dia memelankan laju motor. Dan sedikit menoleh padaku dengan mata yang masih melirik arah depan. Kan serem kalau dia mengalihkan pandangannya sepenuhnya padaku, tiba-tiba kita berciuman dengan pantat truk atau mobil karena tak was-was melihat ke dapan kan.

"Bra, berhenti di toko bunga itu ya." Ucapku menunjuk sebuah toko bunga, yang di jawab dengan anggukan oleh nya.

Brumm...

"Mau ikut masuk gak?" Tanya ku.

"Gak deh,"

Aku mengangguk dan masuk kedalam.

"Selamat datang di toko bunga kami. Ada yang bisa saya bantu kak." Sapa seorang pelayan di toko bunga itu.

"Ada bunga tulip putih?" Tanyaku.

"Ada kak. Mau yang berapa ikat?" Tanyanya.

"Ehm, buat satu buket saja."

"Baik, silahkan tunggu." Ucap pelayan itu dan pergi masuk ke dalam suatu ruangan bersekat.

Aku menunggu dengan memainkan hp ku, melihat isi pesan WhatsApp ku yang ramai dengan grup kelas, juga beberapa nomor tak ku kenal. Namun ku abaikan.

"Kak, pesanan bunga tulip sudah selesai di buat." Ucap pelan itu, aku menghampiri dan membayarkan harga bunga tersebut. Karena di bunga tersebut ada label harga.

"Terima kasih, telah datang. Silahkan kembali lagi di lain waktu."

(Lupa padahal apa kata pelayan bunga waktu itu)

"Ayo Bra,"

Ibrahim menyalakan motor, mengendarai dengan sedikit cepat dan memelankan motor ketika sudah memasuki daerah rumah sakit. Memarkirkan di tempat yang aman.

"Bra, aku ke ruangan Reny dulu ya, nanti chat aku di mana ruangan Mega." Pesan ku.

"Oke."

**

"Tian," sapa ku ketika melihat Tian yang duduk di depan ruangan.

"Oh Dani, masuk Dan, Reny kayaknya sudah bangun." Suruh nya.

"Oke."

Cklek.

Kulihat Reny yang pucat, dia memang putih namun semakin putih karena pucat jadi teringat gadis yang menabrak ku tadi sore.

Aku duduk di kursi samping brangkar. Reny terus menatapku.

"Ren," sapaku, menatapnya dia hanya diam menatapku.

"Apa kabar?" Tanyaku.

Dia malah menangis, aku bingung.

"Hei, hei.. gadis cantik tidak boleh menangis, nanti cantiknya hilang." Hibur ku seperti di film atau novel yang kadang baca dan ku tonton.

Reny semakin menjadi. Aku tidak tahu bagaimana menghiburnya. Apa dia sedih karena aku yang datang dan bukan tunangan. Apa aku keluar saja?

"Ren.. aku keluar saja ya. Ini bunga tulip aku bawakan sesuai dengan apa yang selalu kamu bilang dulu, kalau saat kamu sakit, kamu akan merasa sangat senang jika ada yang ngasih sebuah bunga tulip putih,"

Islammu kunantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang