Part 11

17 10 7
                                    

Seminggu setelah aku berbaikan dengan mereka, mereka mulai mengajarkan ku soal agama meski pun mereka juga dalam keadaan yang belajar.

Menurutku itu lebih baik daripada mereka sudah selesai belajar, lalu mengajariku. Maksudku lebih baik kamu mencari kawan yang hendak belajar daripada selesai belajar.

Jika belajar bersama maka nilai kalian mungkin tidak jauh beda, tapi jika teman kalian sudah mencapai tahap selesai dan kalian masih memulai. Bisa saja kejadian akan sebaliknya. Paham apa yang ku maksud?

Hari ini hari Jumat sore. Mereka mengajakku ke rumah seorang ustadz yang selama ini dengan sabar merubah sifat dan sikap mereka.

"Assalamualaikum," mereka mengucapkan salam.

"Waalaikumusalam." Sebuah jawaban dari dalam rumah.

Ceklek

Tampak seorang pria dengan usia lanjut keluar, tersenyum pada kami.

"Masuk." Suruh nya.

Kami semua masuk, ke dalam rumah. Interior rumah ini cukup sederhana terletak di tengah pemukiman yang jarang penduduk, jauh dari bising kendaraan. Di kelilingi oleh ladang dengan sayuran yang tertanam. Menambah kesan enam di pandang.

Mengingatkanku akan pulau Jawa, tanah kelahiran Ku.

"Duduk, nak." Ucap pria itu.

Kami duduk lesehan. Di sampingku duduk ada sebuah meja kecil yang tertumpuk sebuah kitab Al-Qur'an dan buku yang mengusung keislaman lainnya diatasnya.

"Ini nak Dani? Yang sering kalian ceritakan, nak?" Tanya bapak itu, aku menatapnya lalu menatap teman-temanku.

"Benar pak." Jawab Daniel.

"Seperti itu, saya Ilham Soedjono, selaku imam masjid di wilayah ini nak, senang nak Dani akhirnya ikut kemari." Ucap pak Ilham dengan tersenyum.

Aku tersenyum kikuk padanya. "Te-terima kasih." Ucapku gugup. Entah mengapa aku jadi gugup di depannya.

"Ini nak teh nya, silakan di minum." Ujar seorang wanita dengan usia yang hampir sama dengan pak Ilham, memberikan nampan dengan teko juga beberapa gelas kecil di atasnya.

"Terima kasih nyai," ucap mereka. Aku hanya memandang dan bingung kenapa mereka memangilnya 'nyai' bukan ibu.

"Dan, jangan bingung begitu. Beliau meminta kami memanggilnya dengan sebutan nyai." Ucap Reza, aku mengangguk mengerti.

"Nak Dani, ada yang ingin di tanyakan?" Tanya pak Ilham. Aku yang di tegur terkejut kecil dan bingung.

"A- anu, mereka mengatakan jika bapak yang akan mengajar kami tentang agama lebih dalam." Gugup ku.

"Santai saja, nak. Tak perlu gugup seperti itu." Tegur nyai yang kini duduk di samping pak Ilham.

"Dia ini istri saya, memang sengaja dia meminta untuk memanggil nya dengan nyai seperti dulu sewaktu di Jawa, nak." Terjawab sudah kebingunganku.

"Kalau boleh tau, pak Ilham dari Jawa mana?"

"Saya Jawa tengah," jawabnya.

"Saya Jawa timur, pak"

"Ya, teman-temanmu sudah mengatakannya nak."

Lama kami terdiam, dengan pikiran masing-masing.

"Pak,"

Seorang wanita cantik memakai pakaian yang bergamis panjang dengan cadarnya keluar dari belakang.

"Iya, kenapa nduk?"

"Itu pak, singkong gorengnya sudah matang," ucapnya dengan suara yang lembut. Aku menatapnya. Mungkin dia sadar dan menunduk.

"Bawa kesini, nduk."

Islammu kunantiWhere stories live. Discover now