3. Dia?

1.4K 97 2
                                    

Usai salat magrib, seorang perempuan cantik yang tidak lain adalah teman masa kecilku masuk ke dalam kamar membawa satu kotak tas dengan senyum yang lebar. Aku melempar pertanyaan ketus padanya dan dia menjawab dengan santai bahwa dia di sini diminta untuk merias wajahku agar terlihat lebih muda dan cantik. Kurasa, aku bisa merias wajahku sendiri meskipun Gina pasti lah lebih pandai dariku, sertifikat make up-nya sudah bertumpuk, sementara aku hanya korban Youtuber.

"Sekongkol sama ibu?" tegurku begitu dia manahan tawanya setelah menutup pintu.

"Ndak lho, aku baru dikasih tahu 2 minggu lalu, itu pun ndak pasti to?"

"Aku lho baru dikasih tahu berapa hari yang lalu." Memicingkan mata karena kesal.

"Ya sudah lah, Ya. Memang mau ditunda sampai kapan lagi? Kalau soal ketakutanmu itu, aku akan selalu mengingatkanmu untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Ya, oke-oke, aku tahu itu tidak mudah bagimu tapi jika bukan kamu yang melawan ketakutan itu dan hidup normal, siapa lagi? Aku? Yo ndak bisa, aku bisanya membantu."

Menghela napas. Gina mengatakan hal yang benar, memang hanya diriku sendiri yang bisa membantu ketakutkan ini, kan? Tapi benar juga, kekerasan entah dalam hal apapun selalu menimbulkan luka seumur hidup.

"Lagi pula..."

"Lagi pula apa?" potongku. "Mana calonnya itu temannya ayah, Na. Bayangkan seberapa tua dia."

"Tu..."

"Loh kok belum siap-siap?" pekik Ibu setelah suara kenop pintu dibuka. "Ayo ini nanti acaranya keburu dimulai."

"Kenapa nggak nunggu isya' aja sih make up-nya, Bu?"

Ibu hanya memicingkan mata dan aku sudah tahu apa maunya Ibu, ya, acara harus dimulai begitu salat isya' berjamaah di masjid belakang rumah selesai. Bukan apa, semata agar acara tidak memakan waktu hingga larut malam. Akhirnya aku pasrah dan mengikuti kata Ibu meski sebenarnya selama memoles wajahku aku banyak mengeluh pada Gina. Teman masa kecil yang sudah lama kutinggalkan sendiri di Boyolali ini ternyata masih mendengarkanku dengan baik meski hampir 2 tahun aku tidak menemuinya langsung, hanya menanyakan kabar via media sosial.

"Anakmu gimana?" tanyaku yang sangat jarang menanyakan anak perempuannya. Aku menyukai anak perempuannya, dia menggemaskan, cantik, dan sopan seperti Gina, tapi aku selalu takut mengganggunya dengan urusan anak.

"Udah mau masuk SD, Ya. Hari ini bapaknya kan cuti jadi maunya jalan-jalan sama bapaknya, ndak mau ikut emaknya. Bosen kali, haha."

"Mana ada anak bosen sama ibunya?"

"Ada anakku itu. Mungkin karena bapaknya jarang di rumah kali ya, lebih sering di Kandang Menjangan."

Aku tertawa kecil. Ya, di usianya yang ke 23 tahun, setahun setelah menyelesaikan kuliah S1-nya dia dipinang oleh seorang perwira dari Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan yang 6 tahun lebih tua darinya. Wajar jika suaminya jarang ada di rumah mungkin sebab terlalu banyak permasalahan menyakut kedaulatan negara akhir-akhir ini.

Gina juga pada akhirnya banyak menceritakan perihal anak semata wayangnya, tentang dia yang selalu merengek meminta adik, hingga dia yang mengeluh merindukan ayahnya karena tidak pulang berbulan-bulan saat harus pergi berlatih ke Natuna, dan masih banyak lagi. Aku senang mendengarnya setelah sekian lama, aku senang mengetahui bahwa teman masa kecilku baik-baik saja dan justru nampak bahagia. Andaikata hari itu dia memaksa dirinya untuk ikut denganku ke Jakarta, andaisaja aku tidak menghentikannya yang ingin ikut denganku dalam pelarianku, mungkin dia tidak akan sebahagia itu. Dia akan kesepian sama sepertiku.

"Sudah belum?" tanya Ibu yang sudah mengenakan gamis berwarna kopi susu.

"Sudah, Budhe, tenang saja, sudah cantik," balas Gina karena dia menutupiku yang sedang membenarkan rambut panjangku.

A Perfect RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang