39. Mari Kita Bicarakan!

845 73 3
                                    

Setelah hampir 1 Minggu kami menjalani hubungan jarak jauh, akhirnya sekarang kami kembali bersama di apartemen mewah milik Mas Pasha yang sejak beberapa hari lalu dia paksa agar atasnamanya menjadi atasnamaku. Aku menolak karena aku tidak merasa butuh apartemen ini menjadi milikku. Yang kuminta hanyalah foto-foto kami di apartemen lama Mas Pasha pindah ke apartemen ini. Dan Mas Pasha benar-benar melakukannya. Aku sudah disambut oleh foto cetak besar berbingkai putih begitu membuka pintu. Tentu foto pernikahan kami. Foto-foto kami selama ada di Korea juga memenuhi ruang tamu.

Sebagai pasangan yang cukup introver, menghabiskan waktu di rumah daripada jalan-jalan adalah sesuatu yang menyenangkan. Meskipun ya sekali dua kali harus berjalan-jalan, tapi agaknya menikmati waktu berdua sekadar duduk, menonton tv, atau tidur berdua terasa lebih baik. Membosankan? Entah kenapa bagiku tidak. Mas Pasha juga jarang mengajakku keluar, dia selalu bertanya apa yang ingin kulakukan dan jika aku menjawab aku ingin di rumah saja maka dia menyukainya.

"Sayang, mau camilan juga nggak?"  tanya Mas Pasha dai arah dapur sementara aku duduk di ruang tamu dengan laptop di depanku.

"Iya, jangan yang manis, yang pedas gurih aja, Mas," balasku sedang berusaha menggaambar sendiri sampul bukuku.  Andaikata lolos, buku peringatan 11 tahun debutku akan berisi penuh karyaku sendiri. Baik sampul maupun isinya.

"Iya."

Tak lama datang dengan dua toples camilan juga segelas jus wortel. Perhatian bukan? Ya, bahkan sejak tadi Mas Pasha menemaniku tanpa  mengeluh, meskipun aku tahu dia sangat bosan sebab tak ada yang memperhatikan dia juga. Terkadang memainkan rambutku atau sekadar menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Bukannya gambar lebih enak pakai komputer ya?" tanya Mas Pasha memperhatikan layar laptopku.

"Iya, tapi kan aku belum sempat bawa komputerku, Mas. Drawing tabletku juga rusak, Mas. Mau beli yang gede sekalian sih rencananya."

Mas Pasha menatapku datar.

"Kenapa?"

"Kamu belum masuk ruang kerjamu?"

"Tapi nggak lihat detailnya."

"Masuk dulu!" titah Mas Pasha menuntunku untuk berdiri dan masuk ke ruang kerjaku. "Lihat dulu!"

Begitu aku masuk dan Mas Pasha memintaku duduk di depan komputer. Ini bukan hanya ruang kerja seorang penulis, tapi ruang kerja seorang atlet e-sports. Ada komputer layar cekung merk Korea, laptop merk mahal, drawing tablet yang lebih besar, hingga komputer biasa dengan layar datar ada di meja kerja. Kursi yang dipilih juga kursi khusus yang baik untuk punggung. Sangat berbeda dengan ruang kerjaku di apartemen.

Aku menatap Mas Pasha tak percaya. Rak penuh dengan buku, kulkas kecil di pojok ruangan, hingga kasur kecil dekat dengan jendela. Ini jauh lebih mewah daripada pandangan pertamaku.

"Kenapa?"

"Aku cuma penulis, Mas, bukan gamers."

"Ya, aku nggak tahu apa yang kamu butuhkan, aku tanya Andina aja di ruang kerjamu ada apa aja. Dikirimin foto kamu lagi kerja, terus ya udah, bilang aja butuh komputer, alat gambar digital, sama laptop yang keluaran terbaru dan spesifikasinya tinggi. Dapetnya ini," jelas Mas Pasha santai.

Menatap datar. "Punya suami yang cara flexing-nya dengan manjain istri tuh beda ya," gumamku sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Mau bahagia atau mengusap dada karena semua ini pun untukku terlalu membuang-buang uang. Sayangnya sekali lagi aku harus ingat bahwa suamiku bukan orang biasa. Dia sudah kaya bahkan sejak masih berbentuk embrio, lalu memulai karir sebagai aktor dengan baik. Uang mungkin baginya hanyalah daun berguguran.

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now