10. Day - 7

921 76 2
                                    

Hari ini, hari Sabtu di mana banyak pekerja dan anak sekolah bersantai di rumah atau mungkin berpergian dengan sanak famili. Tak beda jauh denganku yang akhirnya harus mengganti beberapa jadwal temu serta mengosongkan waktu selama 1 minggu ke depan. Setiap hari mendadak aku menjadi sangat-sangat dekat dengan Tuhan, aku sering bertanya perihal keputusanku, namun agaknya Tuhan belum mengubahnya hingga tersisa 7 hari lagi untuk membatalkan keputusan gila ini. 

Tidak, sebelumnya aku sudah mengatakan ini pada Pasha, tengah malam ketika aku tidak bisa tertidur, tidak bisa juga melaksanakan salat malam sebab salat malam pada hari biasa harus dengan tidur lebih dulu. Aku hanya membaca Al-Qur'an tapi yang kudapat hanyalah menangis sepanjang malam, mencari kebenaran dari keputusan yang kuambil. Malam-malam di mana aku menyadari bahwa banyak sekali penyakit hati dalam diriku. Benar, setan memang menang atas diriku. 

Pada malam itu, aku menelepon Pasha sembari menangis dan Pasha menutup teleponnya tanpa bertanya mengapa aku menangis, kurang lebih satu setengah jam, Pasha sudah ada di depan rumahku dan aku tidak tahu kenapa, begitu aku membuka pintu aku langsung memeluknya dan menangis dalam pelukannya beberapa waktu. Yang kukatakan saat itu adalah "Aku nggak bisa menikah sama kamu, aku nggak bisa. Bukan ini yang aku impikan." Tapi aku memeluknya dengan erat seolah tak ingin dia pergi. Jika kuingat lagi kejadian malam itu, aku bisa mati karena malu. 

Perasaanku saat bertemu dengan Pasha lagi setelah kejadian malam itu? Benar, aku baru akan bertemu dengannya hari ini karena beberapa kali sebelumnya aku  menghindar. Aku selalu mengatakan aku sibuk dengan proyek bukuku yang baru untuk tahun depan, aku harus bertapa di rumah untuk hasil bukuku yang bagus dan tidak ingin diganggu, lalu aku mengatakan semua rencana pernikahan aku mengikuti apa yang dia inginkan. Aku hanya mengatakan itu dan dia tidak menggangguku sama sekali. 

Untuk hari ini, mau tidak mau aku harus datang mengurus pernikahanku secara langsung. Benar, hari ini aku harus mencoba gaun pengantinku sendiri, tidak mungkin diwakilkan dan Pasha menjemputku secara langsung. Dia tak banyak bicara sejak mengetuk pintu apartemenku, hingga perjalanan habis setengah jalan, kami tak berbicara sama sekali. 

Hingga mendadak Pasha menghentikan mobilnya di depan sebuah gerai. "Kamu masih nggak  yakin?"

"Hem?" menoleh padanya. Kupikir dia akan turun dan membeli sesuatu, nampaknya tidak. 

"Nikah sama aku, kamu masih nggak yakin? Kalau akhirnya kamu nangis kaya malam itu, aku akan merasa bersalah seumur hidupku karena tidak bisa membuatmu bahagia," katanya membuatku tertawa. Bukankah lucu?

"Haha, kenapa kamu nggak jadi pelawak saja sejak awal? Kenapa nggak ikut circle-nya Vincent dan Desta, lucu tuh kan mereka," balasku menggeleng-nggelengkan kepala. "Kalau sejak awal kamu nggak mau merasa bersalah karena tidak membuatku bahagia, seharusnya sejak awal kamu tidak pernah datang dalam kehidupanku apalagi dengan sok kerennya datang melamarku pada ayah. Wah, kamu terlalu banyak omong kosong. Sudah terlambat kan? Mau diapakan lagi?"

"Masih ada waktu untuk membatalkannya."

"Memang, sebelum sama-sama mengucap janji di depan penghulu semua bisa dibatalkan tapi bagaimana dengan harapan orang tuaku? Bagaimana dengan impian bahagianya setelah kamu melamarku? Bagaimana bisa aku menghancurkan semua itu?" Air mataku menetes. "Aku nggak pernah bisa membahagiakan ayah dan ibu sejak dulu, sekarang harapan terakhirnya aku nggak mau mematahkan harapan itu juga. Toh, aku bahagia atau tidak apa pedulimu?" Menatap keluar jendela mobil dan menghapus air mataku sendiri. 

Pasha diam di balik kemudi. 

"Lanjutin aja, selama kamu nggak ganggu hidupku, aku akan bahagia dengan caraku sendiri."

Pasha tersenyum tipis dan mengangguk. 

Entah sudah berapa kali aku mengatakan ini tapi aku benar-benar marah pada diriku sendiri. Andaikata sejak awal aku bisa menjelaskan keadaanku pada ibu, andai aku tidak membawa diriku sendiri pada trauma yang berkepanjangan, andaikata aku berani menolak lamaran Pasha hari itu dan tidak membuat perjanjian, terakhir, andaikata aku lebih berani pada diriku sendiri, hidupku mungkin jauh lebih mudah juga tidak menyakiti banyak orang. Itu kebodohanku dan aku akan bertanggungjawab sendiri atas hidupku. 

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now