37. Tanda Kepemilikan

1K 72 5
                                    

Memang benar, apa yang membuat kita bahagia adalah apa yang bisa kita bagi. Termasuk membagikan perasaan agar tak menjadi beban yang menumpuk. Begitu lah aku malam ini setelah berhasil mengungkapkan perasaanku dengan benar. Meskipun cukup memalukan, tapi kurasa kelegaan ini sebanding. Kesulitanku dalam mendefinisikan perasaan juga harga diriku yang terlalu tinggi telah menjadi beban menumpuk nan menyesakkan.

Sekali lagi beban perasaanku luruh perlahan-lahan meskipun masih ada yang tersisa juga begitu mengganjal. Aku tahu harus membicarakannya dengan Mas Pasha tapi ternyata aku tidak setiap itu. Padahal aku hampir tahu keseluruhan cerita tentang rasa sakit Mas Pasha tapi sebaliknya. Keberanian itu belum ada.

Pukul 20

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

Pukul 20.00 WIB baru saja terlewat, tepat saat aku dan Mas Pasha saling pandang dan tersenyum. Mas Pasha mungkin senang karena aku sudah berbicara jujur dengannya, sudah bisa jatuh cinta padanya, sudah bisa cemburu buta, tapi pandanganku untuknya kali ini adalah mencari kekuatan untuk bercerita perihal ketakutanku.

Andaikata tidak mempengaruhi masa depan rumah tangga kami, kupikir Mas Pasha tidak perlu tahu bahkan sampai aku mati. Bahkan keluarga yang lain pun tidak perlu tahu terutama ibu yang mungkin akan menyalahkan diri sendiri sepanjang hidupnya. Sayangnya, ketakutanku pun berimbas pada kelangsungan juga keharmoti ada rumah tanggaku dengan Mas Pasha, aku harus membicarakan ini mau tidak mau. Yang kubutuhkan ialah mental yang kuat untuk bercerita. Tapi mungkin tidak malam ini.

"Mau sampai kapan ngelihatin terus?" tanyaku agar pikiranku tidak terlalu kalut di dalam. Aku butuh percakapan.

"Sampai aku puas, tapi nggak pernah puas," balasnya merapikan sisa poniku yang tidak ikut terikat.

"Ya sudah, paus-pausin deh. Besok sore aku ke Malang."

"Loh, besok?"

"Iya, dapatnya penerbangan besok.  Nanti kalau naik kereta lagi Mas Pasha ngerengek-rengek lagi kapan pulang."

"Ikut deh, aku cari tiket dulu. Bisnis, kan?"

"Bisnis?" Tertawa geli. "Mas, ngisi seminar itu yang banyak amalnya bukan uangnya. Gimana caranya berangkat ngisi seminar naiknya bisnis class? Gimana caranya aku bayar Andina?"

"Ah, iya. Uh, tapi Andina ikut?"

"Ya ikut, kalau nggak sama Andina sama siapa lagi? Vian? Nggak mungkin."

"Em, aku aja yang ikut biar Andina di rumah aja. Dia kan harus ngerjain skripsi kan?"

"Ih, ngapain deh, Mas? Udah pesen tiket ini."

"Nggak apa-apa, batalin aja. Kan habis itu kamu cuma pulang sehari langsung ke Aceh, kan? Sementara aku nggak bisa ikut ke Aceh karena ada syuting iklan, pemotretan majalah, promosi series ke beberapa radio," jelas Mas Pasha akhirnya membuatku mengerti mengapa dia ingin ikut denganku. "Aku telepon Andina dulu."

Kubiarkan saja Mas Pasha berbicara dengan Andina, meskipun rugi beberapa rupiah tapi lebih baik daripada selama 1 Minggu ke depan kami tidak memiliki waktu luang yang baik. Padahal hubungan kami baru saja membaik.

A Perfect RomanceKde žijí příběhy. Začni objevovat