32. Sementara Berpisah

866 77 8
                                    

Usai menjalani kehidupan penjara selama kurang dari 3 hari, pagi ini aku bersiap ke Semarang. Ah, ini bahkan masih jam 2 pagi tapi aku harus menyiapkan baju juga materiku. Sebenarnya sudah siap dari satu bulan yang lalu, biasanya materi memang kusiapkan jauh sebelumnya dan Andina akan menyimpan file itu. Aku hanya perlu mempelajari lagi agar lebih siap dalam menyampaikan materi.

Mas Pasha? Dia belum pulang syuting. Setengah jam yang lalu aku meneleponnya kapan pulang dan dia mengatakan kemungkinan masih 2 jam lagi. Hal yang sebenarnya tidak aku suka dari industri hiburan adalah tidak teraturnya jam kerja. Dari pagi bisa sampai pagi lagi, dari malam bisa sampai malam lagi.

Sebenarnya syuting untuk drama series lebih ringan dibandingkan syuting sinetron kejar tayang dengan ribuan episode. Kudengar dari Mama, Mas Pasha tidak mau lagi menerima tawaran sinetron karena merasa sudah tidak mampu. Maka beberapa bulan terakhir dia sibuk syuting film dan series. Ya, syuting series saja sudah banyak menyita waktu semacam ini apalagi sinetron kejar tayang.

Kata Bang Ryan, series kali ini benar-benar membutuhkan waktu syuting yang harus tepat. Oleh karenanya syuting memakan waktu yang lebih lama. Biasanya adegan atau suasana bisa dimanipulasi tapi syuting ini benar-benar memanfaatkan keadaan alam dan lingkungan. Padahal dari yang kudengar hanya series romansa, bukan aksi ataupun misteri. Entah lah, sejujurnya aku hanya kesal karena waktuku tidak banyak lagi tapi aku belum bertemu dengan Mas Pasha.

Selesai mempelajari materi sembari berharap Mas Pasha segera pulang, aku mulai membersihkan badanku, memakai pakaian yang pas dan memoles sedikit agar wajahku lebih segar. Jangan sampai istri seorang Pasha Yudhanta tampil kucel sepanjang perjalanan. Betapa lucunya aku mulai membanggakan diriku sebagai istri seorang Pasha Yudhanta. Menggelikan dan memalukan.

Jam sudah menunjukkan pukul 03.26 WIB, aku sudah harus bersiap untuk berangkat ke stasiun tapi Mas Pasha belum juga pulang. Belum lagi sangat sulit mencari taksi di pagi hari jelang subuh seperti ini. Semalam aku santai karena Mas Pasha bilang akan mengantarku ke stasiun tapi sudah mepet begini belum juga kelihatan batang hidungnya.

Aku mencoba meneleponnya berulang kali tapi belum ada jawaban. Kesal, aku menarik koperku turun ke lobi. Mencoba mencari taksi daring yang mungkin saja mau menerima pesanku. Jika harus menunggu Mas Pasha, aku tidak mungkin bisa mengejar kereta. Sembari terus menghubungi Andina yang juga akan berangkat dari Jakarta.

Ah, kecewa rasanya karena Mas Pasha pulang lebih lambat dari perkiraan. Bukan hanya karena dia tidak bisa mengantarku tapi hampir seharian penuh aku tidak akan bertemu dengannya. Apa iya dia tidak mau bertemu denganku meski sebentar?

Mobil van hitam berhenti di depanku tepat ketika jam di ponselku menunjukkan pukul 03.47 WIB. Mas Pasha turun dengan tergesa-gesa dan segera mengangkat koperku ke dalam mobil. Sementara Bang Ryan masih ada di balik kemudi.

"Maaf telat," katanya membuka pintu mobil untukku.

"Aku udah hampir putus asa nggak bisa ketemu Mas Pasha sebelum berangkat," keluhku masuk ke dalam mobil.

"Maaf, tadi molor."

Mendengus kesal. Sudah biasa. Jam yang sangat karet di industri hiburan Indonesia adalah hal yang sangat biasa.

"Jam berapa keretanya berangkat?" tanya Bang Ryan yang duduk di balik kemudi dengan muka bantalnya.

"Jam 4 lebih 46," balasku.

"Okey, agak ngebut."

Aku mengangguk sembari mengencangkan seat belt. Sementara Mas Pasha sibuk dengan roti tawar juga selai kacang di kursi sebelah. Mungkin dia tak sempat makan semalam. Ah, tapi ternyata tidak, Mas Pasha memberikan roti dengan selai kacang itu padaku.

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now