24. Jawaban Misteri Pasha

884 83 38
                                    

Pasha sedang menerima banyak kritik dari dokter setelah aku meminta untuk pulang lebih awal tapi sekarang kembali lagi ke rumah sakit untuk melanjutkan rawat inap. Pihak rumah sakit juga sibuk mengatai aku dan Pasha. Sepertinya meminta Pasha membawaku kembali ke rumah sakit juga salah. Rumah sakit terdekat kami hanya ini, mau bagaimana lagi. Tidak heran juga jika pihak rumah sakit merasa dipermainkan.

Tidak, aku tidak khawatir tentang aku yang harus menerima banyak makian. Hanya saja Pasha tidak bisa. Kondisinya tidak cukup baik. Keringat dingin terus saja keluar dari tubuhnya juga jari-jarinya yang tidak bisa diam. Napasnya sedikit memburu. Ya Tuhan, apa yang telah kuperbuat pada orang ini?

Setelah banyak menerima kritik dan juga diimbangi dengan makian, kami baru diterima oleh pihak rumah sakit setelah aku tidak mampu lagi untuk berdiri. Tubuhku sangat lemah dan lelah.

Tanganku terus memegangi tangan kiri Pasha, aku seperti tak ingin dia pergi. Bukan tentang aku, jika dia pergi aku lah yang lebih khawatir padanya. Kesehatan pikirannya seperti tidak begitu baik.

"Aku teleponin Bang Ryan biar ke sini ya?" ujarnya membuat dahiku mengernyit.

"Kamu mau minta managermu merawat istrimu sementara kamu main-main dan joging bareng perempuan lain?" tanyaku dan Pasha kembali kebingungan untuk menjawab. "Kamu nggak mau merawat istrimu sendiri?"

Menggeleng, menunduk, menatap tangan kami yang bertautan.

"Aku mau kamu di sini." Gengsiku yang begitu tinggi akhirnya runtuh juga melihat wajah Pasha saat ini. Wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. "Duduk!" titahku padanya yang masih berdiri dan menunduk sepanjang waktu.

Pasha menarik kursi dengan tangan kanannya lalu duduk di sampingku dengan tangan kiri yang tidak pernah kulepas.

"Mau ada yang dikatakan?"

"Maaf."

"Maaf untuk apa?"

"Banyak hal."

"Banyak hal itu apa?"

Pasha diam. Baiklah aku tidak ingin memaksanya.

"Aku pengen tidur," keluhku.

"Oh iya." Pasha hendak melepas tautan tangan kami tapi aku menghentikannya.

"Aku mau tidur di sofa," kataku lagi.

"Tapi, itu, em, di punggung bisa sakit."

Aku tidak mengindahkan kalimatnya. Turun dari ranjang rumah sakit dan menariknya ke sofa. "Duduk!" titahku.

Pasha mengikuti perintahku untuk duduk di tempat yang kutunjuk. Sofa bagian paling ujung. Aku melepaskan tangannya, membenarkan posisi tiang infus lalu berbaring di sofa dengan kepala di atas pangkuan Pasha.

"Bukannya nggak nyaman?" tanya Pasha.

Menggeleng. "Tangan." Mengajukan tanganku untuk menyambut tangannya. Benar, aku hanya ingin menggenggam tangannya agar dia tidak pergi, aku masih butuh banyak jawaban. Hanya ini juga yang bisa kulakukan untuk membuatnya tenang. Serangan paniknya membuatku terkejut, sisi lemah yang tidak pernah kulihat.

Entah seberapa lama aku tertidur di pangkuan Pasha.  Aku terbangun begitu menyadari pintu kamar terbuka. Bang Ryan yang baru saja datang dan Ryan yang tertidur dengan kepala miring di punggung sofa. Dengan hati-hati aku bangun dan mengajak Bang Ryan untuk keluar, berbicara dan mencoba mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk.

Kami duduk di lorong rumah sakit dengan pemandangan lalu lalang pasien, perawat, maupun dokter.

"Bang Ryan tahu semuanya tentang Pasha?" tanyaku untuk memulai pembicaraan.

A Perfect RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang