25. Luluh

924 78 17
                                    

Seorang Pasha Yudhanta Varesqi, aktor ternama dengan bayaran yang cukup tinggi. Jadwal syuting baik iklan, film, maupun seriesnya padat merayap. Aktor yang dielu-elukan kemampuan aktingnya bahkan disebut sebagai nation's boyfriend hanya karena sikap dingin dan semua karakter dalam series maupun filmnya yang sangat bagus, baik hati, juga kaya raya. Laki-laki yang dianggap sebagai seseorang yang tangguh, bijaksana, pemberani. Di depanku saat ini, dia sungguh bukan apa-apa. Mungkin masyakarat akan kecewa jika aslinya Pasha cukup penakut. Tidak, tapi luka yang ditinggalkan oleh ibunya cukup kejam.

Dua bola mata itu tidak mau menatapku. Dia hanya menatap jari-jari di mana kukunya mulai rusak. Sejak kapan dia merusak kuku-kuku indah itu?

Sejujurnya ada banyak daftar pertanyaan yang jawabannya ingin sekali kudengar dari Pasha. Bagiku, dari Bang Ryan saja tidak cukup. Ada versi lebih baik jika Pasha menceritakannya sendiri. Sayangnya, aku tidak mau Pasha menyulam kembali lukanya. Kondisi Pasha saat ini pun tidak memungkinkan untuk bercerita lebih banyak. Aku harus menenangkannya dan mengembalikan kepercayaan dirinya seperti sebelumnya.

Lihat lah seonggok daging punya nama ini di depanku! Duduk dengan punggung membungkuk, kedua tangan yang saling beradu, juga tundukan kepala penggambaran orang takut. Persis seperti anak kecil yang sedang dihukum karena melakukan kesalahan.

"Aku mau tidur," ujarku memecah keheningan di antara kami.

Oleh sebab mendengar cerita dari Bang Ryan, setiap kalimatku untuk Pasha benar-benar kupikirkan. Aku tahu rasanya menerima luka dari perempuan yang seharusnya menjadi wanita tak bersayap bagi kita. Untuk itu simpati untuk Pasha lebih besar, aku harus ikut menjaga keadaannya.

"Iya," jawab Pasha singkat.

"Temenin."

"Hah? Eh, maaf."

"Ayo, temenin!" Mengulurkan tangan kananku dan dengan ragu dia menyambutnya.

Pasha menuntunku ke tempat tidur. Membawakan tiang infus. Saat Pasha hendak melepaskan tangannya karena aku sudah berbaring. Jujur aku tidak ikhlas sama sekali untuk melepasnya. Sebab itu kukatakan padanya, "Kamu duduk di sini! Kalau kamu lepas tangan ini atau kamu melangkah keluar satu langkah aja dari pintu itu, aku nggak akan mau tinggal satu atap lagi sama kamu!"

"Eng..."

"Nggak usah jawab, turutin aja!" tegasku berusaha memejamkan mata sementara Pasha hanya mengangguk saja.

Aku membawa tangan Pasha dalam pelukanku dan dia hanya diam sembari memainkan 5 jari tangannya yang lain.

Kupejamkan mataku, aku merasakan nyaman yang sebelumnya tidak pernah kurasakan. Jika dikatakan aku mulai luluh pada Pasha, itu mungkin. Hanya karena cerita Bang Ryan, aku mulai bersimpati padanya. Jika dikatakan aku mulai mencintainya, jelas tidak. Meskipun sudah 10 tahun aku tidak berpacaran, aku benar-benar tahu bagaimana menilai hatiku. Apakah itu cinta atau simpati saja. Aku hanya merasa Pasha memiliki masa lalu yang hampir mirip denganku, aku mengerti perasaannya sebagaimana aku mengerti perasaanku.

Membuka mataku lagi. Kenyamanan ini membuai, tapi ada keinginan untuk tidak melewatkan waktu ini.

"Ambilkan ponselku!" pintaku pada Pasha yang masih menunduk memainkan jarinya. Aku hanya tidak bisa melihatnya seperti anak kecil yang ketakutan. Pasha yang kulihat sebelumnya jauh lebih keren juga maskulin dibandingkan hari ini.

"Iya." Pasha bangkit dari tempat duduknya, hendak melepaskan tanganku tapi aku menahannya.

"Kan sudah kubilang nggak boleh dilepas."

Pasha hanya mengangguk. Lalu mengambilkan ponselku di atas nakas. Sebenarnya aku bisa mengambilnya sendiri, aku hanya ingin dia bergerak sedikit saja,  bukan hanya jari-jarinya.

A Perfect RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang