14. What's this?

956 70 3
                                    

Memainkan jariku, bingung harus ke mana, harus mengatakan apa, harus memulai langkah dengan apa. Aku masih di dalam kamar dan Pasha masih di luar kamar. Tinggal kami berdua, semua orang sudah pulang dan malam sudah mau menjelang. Haruskah aku keluar dan mengatakan, "Ayo pulang!" atau aku harus bertanya, "Mau tinggal di mana?". Tidak, Pasha mengatakan pada Mama bahwa aku akan tinggal bersamanya. Tapi ini sangat tidak nyaman. Kami bahkan belum membahasnya. Di mana kami akan tinggal, apa saja yang kami butuhkan, aturan apa yang akan kami terapkan selama kami tinggal satu rumah. Tidak satu pun pernah kami bahas.

Tok, tok!

"Ayo pulang!" suara Pasha dari luar.

"Iya, duluan aja," balasku langsung bingung sendiri.

Satu hal yang kami sepakati adalah tinggal satu atap. Bagaimana bisa aku mengatakan padanya untuk pulang lebih dulu? Apa kata media yang sejak tadi meliput momen bersejarah kami? Bodoh sekali aku ini. Memang apa yang kutulis tak berguna dalam hidupku.

"Memangnya kamu tahu rumahnya di mana? Aku tunggu."

Benar juga. Ah, tunggu. Jika memang kami akan tinggal di apartemen Pasha, aku tahu alamatnya. Toh, aku juga belum membawa barang-barangku, semua masih tertinggal di apartemenku.

Membuka pintu, sedikit kikuk. "Em, semua barang-barangku masih ada di apartemen. Aku mau ambil dulu, kamu pulang aja. Besok atau nanti malam aku nyusul," kataku sedikit canggung. Tidak, ini benar-benar canggung. Perkara obat kuat yang Mama berikan tadi, suasana di antara aku dan Pasha benar-benar kikuk.

"Nggak bisa gitu, em, di bawah ada banyak wartawan. Bang Ryan baru aja ngasih tahu, aku masih harus ngasih pernyataan ke mereka. Kalau aku keluar sendiri apa kata orang nanti? Baru juga nikah masa orang tua kita sudah harus overthinking. Apa aja emangnya yang ketinggalan?" tanyanya dengan nada lembut. Apakah ini Pasha yang kutahu sebelumnya? Kenapa dia bisa berubah-ubah setiap saat?

"Ya, pakaianku, aksesoris, banyak lah."

"Pulang dulu aja, lihat-lihat dulu rumahnya. Pikirkan apa yang pengen kamu bawa, apa yang cocok kamu bawa, baru nanti ambil dari apartemenmu."

"Tapi, kan..."

"Sudah ayo!" ajaknya menarik tanganku, mencari koper, dan membawanya dengan tangan kiri.

"Tapi..."

Pasha sama sekali tidak peduli dengan kata-kataku, dia hanya peduli pada wartawan yang langsung menyambut kami begitu kami menjauh dari area kamar. Mereka menanyakan banyak hal. Salah satu yang kudengar adalah, "Untuk rencana bulan madu mau ke mana?" dan jawaban Pasha untuk pertanyaan itu adalah, "Em, rahasia. Bulan mau adalah rencana pribadi ya. Saya tidak mau menyebarkan apapun tentang itu. Takut diganggu, hehe. Bercanda ya."

Ada pula pertanyaan. "Untuk rencana momongan?" dan kami langsung membeku setelah mendengarnya. Wah, tragedi obat kuat masih membuat kami kikuk, sekarang ditambah lagi tragedi momongan. Apa sebenarnya yang kalian harapkan dari pernikahanku ini? Pasha Junior yang lucu nan menggemaskan? Sungguh harapan yang sia-sia. Bahkan untuk tidur dalam tempat yang sama pun kami tidak menyepakati itu, bagaimana bisa berbicara tentang momongan?

"Haha, cukup ya. Terima kasih untuk kehadiran dan doanya hari ini," ujar Pasha agak kikuk, dia terlihat sangat menghindari pertanyaan itu sembari terus menggenggam tanganku. Sementara aku hanya tersenyum kaku, mencoba akting senatural mungkin tapi agaknya nilai aktingku memang rendah.

Mobil hitam keluaran terbaru menunggu kami di depan hotel. Pasha, si pemilik mobil tersebut segera membukakan pintu untukku dan memasukkan koper ke bagasi. Dia sendiri yang akan menyetir mobilnya. Aku hanya duduk diam dengan canggung.

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now