15. Balas Budi dan Kejutan

878 71 7
                                    

Pagi mulai menjelang dan aku masih membuka mataku. Masih berpikir haruskah aku menjalankan tugasku juga sebagai istri untuk balas budi? Tapi aku berencana tidak menggunakan barang maupun uang yang Pasha berikan. Ah, apakah itu akan menyakiti hatinya? Kalau aku menjalankan tugasku sebagai istri, satu-satunya yang kupikirkan untuk membalas budi adalah memasak untuknya.

Setelah berpikir cukup lama, waktu di mana azan subuh hendak berkumandang. Aku mengendap-endap keluar menuju ke arah dapur dengan konsep serba putih dan abu. Mengecek kulkas di dapur dan takjub dengan isinya. Berbagai camilan, buah, minuman, semuanya ada. Satu-satunya yang tidak ada adalah sayur, daging, dan apa yang bisa disebut dengan menu makan besar.

Apa yang harus aku siapkan? Apa yang bisa dimakan untuk sarapan? Mencoba mencari-cari lagi dan yang bisa kupikirkan sekarang adalah roti bakar. Hanya ada selai, margari, dan roti tawar. Apapun itu, yang ada sekarang lebih baik daripada tidak membalas budi sama sekali. Nanti setelah premier film selesai aku bisa berbelanja bahan makanan dengan Andina.

Gludak...

Suara dari kamar di depan area dapur, seperti menjatuhkan sesuatu tepat ketika azan salat subuh berkumandang. Itu mungkin Pasha yang baru saja terbangun dari tidurnya untuk melaksanakan salat subuh. Karena panik dan tidak mau bertemu, aku berlari masuk ke dalam kamar.

Tok, tok!

"Ya, udah bangun kan?" tanya Pasha setelah lama aku diam.

Aku sama sekali tidak menjawabnya dan dia juga tidak bertanya lagi bahkan tidak mengetuk pintu lagi. Dia hanya mengatakan, "Maaf" lalu hening untuk waktu yang lama.

Singkatnya, setelah salat subuh, aku menelepon Andina untuk segera menjemputku pukul 06.00 WIB karena aku harus mampir ke apartemenku untuk mengambil beberapa pakaian, tas, dan perangkat menulisku. Sebagian yang bisa kubawa. Perilisan filmku dijadwalkan pukul 11.00 WIB di salah satu bioskop di Jakarta Pusat.  Cukup bagiku untuk berbenah.

Setelah merapikan diri dan mengenakan kaus yang nyaman, aku mencoba membuka pintu kamarku pelan-pelan, menengok ke arah dapur dan yang kulihat dari kejauhan adalah Pasha yang sedang meneguk air putih di depan kulkas. Laki-laki yang tampan di pagi hari dengan kaus oblong warna putih, sarung bermerk yang sedikit mengatung juga rambutnya yang sedikit basah tak beraturan. Andaikata dia adalah orang yang aku cintai, memeluknya dalam momentum seperti ini merupakan yang terbaik. Aku pernah menulisnya dalam novelku. Sayangnya, baik dulu maupun sekarang itu hanyalah imaji belaka.

Aku sedang dalam halusinasiku ketika Pasha tiba-tiba berbalik dan aku langsung menutup pintu kamarku. Jantungku  berdegup kencang seperti ketahuan mengintip seseorang yang sedang mandi.

Setelah sibuk mengendalikan degup jantungku, perlahan aku membuka pintu kembali dan tidak ada Pasha di sana. Mengendap-endap takut Pasha masih ada di sekitar dapur atau ruang tamu. Ternyata tidak ada sama sekali. Aku harus cepat-cepat membuatkan sarapan untuknya sebelum Andina datang. 

Sembari memikirkan ulang menu yang akan kubuat karena roti bakar pun sangat biasa, aku membuka Instagram untuk melihat resep di salah satu akun yang kuikuti. Akan tetapi, jariku berhenti begitu laman Instagram terbuka penuh. Pasha lagi-lagi mengunggah fotoku. Kali ini foto selama pernikahan kami kemarin, foto tanpa dia, hanya aku sendirian.

 Kali ini foto selama pernikahan kami kemarin, foto tanpa dia, hanya aku sendirian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now