8. Kegaduhan Industri Hiburan

1K 73 1
                                    

Sejak subuh hari, bukan lagi ponselku yang gaduh, industri hiburan di Indonesia pun gaduh. Artikel tentang tanggal pernikahan telah dirilis. Tentu saja pernyataan dalam artikel tersebut hanya datang dari seorang Pasha Yudhanta, tidak datang dariku. Juga keluarga besarku yang sibuk memberikan pernyataan tanpa tahu bagaimana kondisiku yang sesungguhnya.

Tidak, aku juga harus mengakui kesalahanku. Ketika aku menyetujui kesepakatan ini dengan kesombongan, gengsi yang tinggi, dan sikap tidak mau kalah yang kumiliki, itu adalah kesalahan fatal yang dengan sengaja kupilih. Ditambah lagi ketidakadilan bagi perempuan, di mana setiap perempuan yang lambat menikah seperti aib bagi keluarga. Umur yang semakin bertambah semakin didesak untuk segera naik ke pelaminan. Hal yang menyebalkan di era serba modern ini. Dalih yang paling menyebalkan bagi seorang perempuan agar segera menikah adalah bertambahnya usia mempersulit seorang perempuan untuk memiliki anak. Aku tetap percaya bahwa anak adalah kuasa Tuhan meski tidak bisa dipungkiri ilmu medis pun bekerja dengan baik.

Melempar sembarang ponselku ke atas tempat tidur. Aku muak dengan kehidupanku sendiri, untuk itu aku ingin melupakannya.

Ting... Tong...

Tuhan, agaknya tak Engkau biarkan hamba-Mu ini beristirahat dari hiruk-pikuk takdirmu yang luar biasa.

Berjalan gontai menuju pintu apartemen. Sudah kutekadkan tidak pergi ke mana pun sebab memang tidak ada jadwal apapun hari ini. Juga sudah kutekadkan untuk memejamkan mata dengan baik, bermimpi indah, dan melupakan dunia nyata serta seisinya.

"Ya." Mendapati Andina, asistenku sedang berdiri dengan wajah kesalnya. "Masuk!" titahku ikut kesal.

"Ini harusnya aku yang kesel dan marah-marah ya, Kak. Jadi nggak usah sok ikut marah!" ketusnya tanpa salam bahkan tak ada kata pengantar.

Menghela napas panjang. Bagaimana aku harus menanggapi Andina.

"Kata kakak aku sudah seperti adik sendiri, tapi mana? Berita yang seharusnya aku denger duluan malah aku yang terakhir."

Menggaruk kepalaku yang tak gatal. Benar, Andina adalah seorang penggemar tulisanku yang kutemui saat mengisi seminar di salah satu universitas di Yogyakarta. Aku menawarkan padanya pekerjaan setelah aku tidak mampu mengatur jadwalku sendiri. Aku membawa anak pintar dari keluarga sederhana ini ke Jakarta, membiarkannya memilih sekolah tinggi, dan membiayainya sebagai bonus karena sudah mau bekerja denganku. Tentu, karena seringnya kami bersama itu lah aku menganggapnya seperti adikku sendiri. Apapun yang menjadi masalahku selama di Jakarta, aku selalu memberitahunya. Lebih-lebih lagi, dia adalah orang pertama yang akan dihubungi media ketika aku membuat keputusan penting untuk karyaku. Sangat wajar jika dia marah padaku.

Sayangnya, untuk keputusan ini aku tidak bisa berkata jujur pada Andina. Aku terlalu malu mengakui bahwa hal indah dalam hidupku adalah sebuah perjanjian konyol dan bukan sesuatu yang seindah itu. Dia selalu mengatakan bahwa aku bijaksana, aku baik, dan aku bisa menjadi panutannya meski pun aku tidak menginginkan pujian itu darinya. Bagaimana jika aku berkata jujur padanya lalu aku akan merusak anggapan baiknya padaku? Bukankah aku juga menjadi contoh yang buruk baginya?

"Maksudnya gini loh, Kak.  Aku kan juga harus menjawab pertanyaan media.  Terus aku harus jawab apa?"

Menyilangkan kedua tanganku di depan diafragma. "Em, begini. Maaf sebelumnya karena tidak bisa menjelaskan kondisinya dengan baik dalam waktu yang cepat. Intinya terjadi begitu saja."

"Ya, kan, namanya pernikahan pasti sebelumnya ada perjalanan dan pembicaraan yang panjang, benar?"

"Ya, itu benar."

"Nah, perjalanan dan pembicaraannya itu kap..."

Kling...

Terhenti sebab dua ponsel di samping Andina berdering dalam waktu yang bersamaan. Ya, untuk mengurus jadwal dan pekerjaaku, dia menggunakan dua ponsel untuk berkomunikasi.

A Perfect RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang