47. Memaksa Diri

916 73 3
                                    

Trimester pertama kulewati dengan santai. Benar-benar santai. Aku hanya sempat tidak mau tidur satu ranjang dengan Mas Pasha untuk 3 hari. Entah tapi aku menghindarinya untuk 3 hari itu. Bahkan sempat mengunci ruang kerja seharian. Tapi bagiku itu masih sangat santai. Mual juga tidak terlalu, ingin ini itu juga tidak. Padahal Mas Pasha hampir setiap hari bertanya apakah aku ingin sesuatu.

Hal lain yang juga belum berubah adalah ketakutanku. Diam-diam aku khawatir dan ketakutan. Seiring dengan membesarnya perutku, dengan itu pula kekhawatiranku membesar. Aku masih merasa belum siap bahkan hingga usia kandunganku 7 bulan. Setiap hari aku membaca buku-buku parenting untuk menenangkan diri, tapi sepertinya mendidik anak tidak bisa hanya dengan membaca buku. Akan ada hal-hal tidak terduga dari anak yang harus siap kita hadapi. Sayangnya aku juga khawatir tentang itu.

"Sayang, jadi dianter ke dokter nggak?" tanya Mas Pasha yang baru saja pulang dari syuting filmnya di Tangerang.

"Iya," jawabku sembari membenarkan short dressku yang sedikit kusut lalu berlari kecil mendekati suamiku yang hari-hari ini lebih banyak tersenyum.

"Nggak usah lari-lari, kamu itu hamil ya, bukannya ngantongin balon!" tegur Mas Pasha mengusak ringan rambutku.

Hanya kubalas dengan senyum tipis. Mas Pasha memang banyak bercanda akhir-akhir ini meskipun lebih banyaknya terkesan seperti lelucon ayah. Benar, Mas Pasha memang calon ayah.

Tahu apa yang lucu lagi dari Mas Pasha? Kapanpun Mas Pasha memiliki kesempatan untuk mengusap perut buncitku, dia akan melakukannya sembari tersenyum, sesekali juga mengajak calon anak kami bebicara. Bahkan saat mobil kami berhenti di lampu merah, Mas Pasha pun melakukannya.

Mas Pasha, em, dia nampak lebih bahagia dariku. Banyak tersenyum, banyak berinyteraksi dengan calon anak kami, banyak memberikan sentuhan lembut, sangat memperhatikan pola makanku, membaca banyak buku parenting, dan masih banyak hal hebat yang dia lakukan di tengah kesibukannya sebagai soerang aktor. Sementara aku, ibu yang seringkai disebut sebagai madrasah utama seorang anak justru tak banyak melakukan hal hebat. Ah, bahkan untuk mengusap perutku lebih banyak pun ada banyak ketakutan yang membuatku cemas. Aku masih seburuk itu tapi mungkin 3 bulan lagi akan menjadi seorang ibu.

"Kenapa?" tanya Mas Pasha menghapus setitik air mata di sudut mataku.

Menggeleng tapi air mataku justru jatuh tanpa aba-aba.

"Sayang?" Mas Pasha mulai panik, lampu menjad hijau dan puluhan kendaraan mulai membunyikan klaksonnya. Tingkat kesabaran yang rendah membuat Mas Pasha melajukan kendaraannya cepat dan segera menjadi minimarket untuk menepi.

Aku? Aku masih menangis dengan tundukan. Sungguh tidak memiliki keeberanian untuk menatap wajah Mas Pasha. Berbulan-bulan ini aku menyembunyikan kecemasanku.

Mas Pasha melepaskan sabuk pengamannya lantas memelukku, tidak mengatakan apapun untuk beberapa saat. Hanya memelukku, mengusap punggungku, dan mendengarkan ucapan maafku dengan lirih di ceruk bahunya.

Ah, tapi aku adalah calon ibu yang harus tenang menghadapi kehidupan, seorang ibu yang harus memiliki hati yang lapang, kesabaran yang luas. Aku harus belajar itu semua agar anakku pun merasa tenang dan nyaman dalam menjalani kehidupannya. Seharusnya aku tidak begini, kan? Aku harusnya bisa mengontrol semua emosiku. Aku seharusnya tidak secengeng ini, aku seharusnya sudah siap untuk semua yang akan kualami tapi aku merengek seperti ini sungguh tindakan yang bodoh.

Melepaskan pelukan dari Mas Pasha. "Kita lanjut aja, Mas. Ini udah telat," kataku mencoba memasangkan sabuk pengamannya.

Mas Pasha mengangguk tanpa mengatakan apapun, mengambil alih kuncian sabuk pengaman di tanganku. Lantas mengemudikan kendaraan kami dengan selamat hingga tempat tujuan.

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now