38. Pemikiran dan Ketakutanku

908 70 2
                                    

Setelah menikmati waktu bersama Mas Pasha di Malang, sekarang aku sudah sampai saja di Serambi Mekkah. Hari pertama tentu untuk istirahat, begitu tiba semua orang berdiam diri di kamar hotel masing-masing. Itu lebih baik, aku tak suka langsung bekerja setelah perjalanan jauh ini. Terlalu gaduh di sepanjang perjalanan bersama staf dari perusahaan perfilman. Agaknya mereka semua orang-orang ekstrover yang tidak sengaja bekerja di bidang yang sama. Mendengar mereka bersendagurau saja aku sudah lelah.

Bukan aku tidak suka dengan mereka, orang-orang introver mungkin satu paham. Bukan tidak menyukai orangnya, hanya lelah dengan suara-suara saja. Bagaimanapun tidak ada dunia yang tidak gaduh, hanya seorang yang introver punya dunianya sendiri. Dunia yang lebih banyaknya adalah hening.

Aku tidur setelah melaksanakan salat isya, terbangun saat Mas Pasha menghubungiku pukul 21.43 WIB. Beruntung dia membangunkanku karena aku perlu memperbaiki outline novelku untuk perayaan 11 tahun debutku. Aku mendapatkan inspirasi yang lebih baik selama aku menghabiskan waktuku bersama Mas Pasha di sela-sela kesibukanku menyiapkan materi seminar. Setidaknya aku harus mengubahnya malam ini untuk kudiskusikan melalui email besok pagi dengan tim penerbit.

"Udah mau tidur?" tanya Mas Pasha setelah salamnya.

"Bangun tidur malah," balasku sembari menguap.

"Oh, balik tidur lagi aja kalau gitu. Cuma mau dengar suaramu aja sebentar."

"Nggak ah, malah kebetulan Mas Pasha bangunin jadi bisa mulai nulis lagi."

"Jangan kebanyakan begadang, nggak baik. Besok juga kan ada mulai survei. kan?"

"Iya, tapi kalau nggak malam, nggak hening susah mikirnya," balasku. "Lagian udah banyak tidur kok sejak sakit dan bareng Mas Pasha terus, jadi nggak akan kenapa-kenapa."

Helaan napas Mas Pasha terdengar hingga ke Aceh. "Tetep dijaga tidurnya, makannya, jangan dipaksa nulis kalau sudah capek ya?"

"Iya, Mas."

"Nulisnya mau aku temenin?" tanya Mas Pasha tiba-tiba mengubah panggilan suara dengan panggilan video.

Aku terkekeh melihat wajahnya masih dengan riasan juga rambut yang masih tertata sempurna. "Hahaha, itu make up dihapus dulu astaga, bersihin dulu mukanya rambutnya baru video call."

"Pengen tetep ganteng pas video call kamu, haha."

"Astaga, terserah deh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Astaga, terserah deh. Aku mau mulai nulisnya. Ah, tadi kan juga ngasih tahu jangan banyak begadang, jadi lebih baik nemenin sebentar aja habis itu tidur," kataku sembari mengatur ponselku untuk tetap berdiri di samping laptopku.

"Aku udah biasa begadang, hehe. Sekalian aku baca naskah dulu, ada naskah baru masuk."

Mengangguk-angguk paham.

Aku memulai pekerjaanku, sesekali memeriksa buku catatan, diam berpikir, hingga menulis di laptop. Jika sudah berkonsentrasi semacam ini seringkali aku lupa dengan keadaan sekitar. Bahkan sekarang sudah terlewat dua jam aku baru ingat ada layar ponsel yang masih menyala.

A Perfect RomanceWhere stories live. Discover now