16. Milik

42.6K 3K 46
                                    

Ini mungkin kedua kalinya ia berada di UKS dengan Levin. Lelaki itu memintanya untuk melepaskan sweater. Seyna sempat menolak, tapi karena terus dipaksa akhirnya sweater itu dilepas juga. Luka-luka goresan pun bisa dengan jelas Levin lihat di sekitar tangannya.

"Kenapa? Siapa yang lakuin ini sama lo?" tanya lelaki itu.

"Kamu."

Kening Levin langsung mengernyit. Jelas tak terima. Seingatnya ia merasa tak pernah mencoba melukai fisik Seyna.

"Gimana bisa gue lakuin ini sama lo?"

"Dari awal aku bilang nggak bisa pacaran. Jadi ini akibatnya."

"Luka ini karena ibu lo?"

Seyna sama sekali tak menjawab, membuat Levin yakin ibu Seyna melakukan sesuatu yang melukai putrinya sendiri. Kemarin memang tak berjalan baik. Ia tak tahu jika wanita itu akan melakukan ini.

"Levin ..., aku segan sama kamu. Aku menghormati kamu, seperti yang lain. Seharusnya kita nggak perlu berhubungan. Maksud aku kenapa kamu lakuin ini? Kamu lebih baik bersikap seperti sebelumnya."

"Sebelumnya?"

"Kita nggak perlu terikat akan apa pun." Seyna berucap takut-takut. Tapi ia rasa harus mengatakan itu.

"Lo menarik."

"Hm?"

"Tadi lo nanya kenapa gue lakuin ini. Gue mulai tertarik. Gue juga nggak habis pikir kenapa si Alelia suka sama lo. Kenapa orang-orang selalu natap lo, padahal lo lebih rendah dari orang biasa. Sebelumnya gue diam, tapi bukan berarti nggak memerhatikan. Dan sekarang gue mau terlibat."

Levin sedari tadi hanya menatap Seyna. Meski gadis itu kadang menunduk atau mengalihkan pandangan.

"Sebenarnya ibu aku minta aku berhenti berhubungan sama kamu."

"Gimana sama lo?"

"Apa?"

"Gue tahu lo ngerti."

Seyna tak langsung menjawab, mungkin sedang memikirkan jawaban terbaik yang sebaiknya ia lontarkan.

"Aku nggak mau terlibat masalah. Kamu penuh dengan itu, jadi kamu tahu jawabannya."

"Lo bukan cuma lemah, tapi pengecut. Sama kayak ibu lo."

Seyna tersinggung, sungguh. Apalagi Levin membawa ibunya. "Kalau kita bertukar kehidupan mungkin kamu bakal berpikir dua kali soal omongan kamu barusan."

Levin mengeluarkan smirk. Bukankah Seyna akhir-akhir ini sering sekali menjawabnya?

"Lo siapa? Tahu apa soal hidup gue?" tatapan Levin menajam.

"Tepat. Tahu apa kamu soal hidup aku?"

Lelaki itu tertawa pelan saat Seyna mengulang dan balik bertanya. "Perhatiin apa yang keluar dari mulut lo."

"Kamu lagi bicara sama diri sendiri?"

Astaga. Levin nyaris speechless. Gadis yang selalu menunduk, pasrah, dan sembunyi ini melawannya. Ia jadi terlalu banyak bicara juga.

Merepotkan.

"Lo makhluk lemah. Gue benci sama orang lemah. Tapi kali ini beda. Gue sadar bisa melakukan segalanya, terutama ke orang kayak lo. Lama-lama ini menarik dan seru. Lo bukan cuma nggak berdaya dan nggak bisa apa-apa, gue bisa melakukan apapun yang gue suka ke lo tanpa berpikir lo akan balik menghancurkan hidup gue."

"Ibu aku benar, orang-orang seperti kamu selalu sama. Kalian cuma mau menghancurkan hidup orang lain, tapi nggak mau diperlakukan begitu. Aku nggak mau di sini." Seyna mengambil sweater di sampingnya dan hendak berdiri. Tapi Levin lebih dulu mendorongnya agar kembali duduk.

"Gue benci banget lo ngebantah gue."

"Kamu mungkin harus belajar menerima kenyataan."

Levin kali ini benar-benar tertawa sarkas karena ucapan Seyna.

Tak lama, tawanya mereda. "Kamu lagi ngomong sama diri sendiri?" ia menirukan nada bicara Seyna.

Seyna diam dan hanya menatap lelaki itu.

"Terima kenyataan. Selama gue bilang lo milik gue lo harus terima. Nggak ada yang bisa ngubah itu bahkan ibu lo sendiri."

"Aku nggak suka sama kamu."

"Gue nggak peduli. Sekarang, karena lo udah mulai ngelunjak. Gue akan memberi lo sesuatu untuk dikenang."

Jika Seyna ingin berhenti terikat dengan Levin, lelaki itu akan melakukan hal sebaliknya. Firasat Seyna mengatakan mungkin sebaiknya ia berusaha lari atau meloloskan diri.

"Lo pernah lihat blue film? Gue pengen praktek."

***



Aku berhutang satu update-an lagi, sabarrr yayaya

Ayo cek ombak dan tinggalkan jejak dulu

See you!

Levin's FavoriteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang