40. Perjuangan Hidup

13.2K 1.4K 12
                                    

Berkat bantuan bu Novita dan teman-teman Nara, Seyna berhasil keluar dari rumah bordil. Saat ini ia masih tinggal bersama bu Novita, barang-barangnya termasuk barang-barang sang ibu sudah diambil juga dari sana. Seyna rencananya akan pindah ke rumah yang pernah dikunjungi dengan sang ibu minggu depan.

Kini ia masih berada di rumah bu Novita, tepatnya di ruang tengah.

"Terima kasih, Bu. Sekali lagi terima kasih banyak. Ibu sudah banyak memberikan bantuan. Kalau nggak ada ibu, saya nggak tahu harus apa dan mungkin entah bagaimana nasib saya sekarang," ucap Seyna.

"Saya senang bisa bantu kamu. Saya juga nggak ngelakuin banyak hal. Ini semua terjadi berkat perjuangan ibu kamu selama ini. Dia sudah lebih dulu menyiapkan semua untuk jaga-jaga hal seperti ini terjadi. Sebelumnya dia juga sudah ingin mengeluarkan kamu dari sana. Apa yang ibu dan teman-teman mama kamu lakukan saat ini hanya melanjutkan apa yang sudah dia mulai."

Seyna tersenyum tipis, "Kami berdua berhasil keluar, sayangnya ..., hanya salah satu dari kami yang akhirnya bertahan."

Bu Novita memegang tangan Seyna. "Ibu nggak akan biarin kamu sendirian, ingat itu baik-baik."

Seyna tersenyum samar. Bu Novita menghela napas.

"Bagaimanapun, ada banyak hal yang harus kamu tahu. Selama ini Nara menyimpan banyak derita, dan ibu yakin dia nggak mau kamu khawatir. Tapi entah ini waktu yang tepat atau bukan, ibu rasa kamu harus segera tahu apalagi kita nggak tahu gimana hari esok. Waktu ibu kamu ke sini dan kita ngobrol berdua. Dia bilang orang tuanya udah nggak ada dari dia kecil, Sey. Jadi dia tinggal sama pamannya. Kehidupan ekonomi keluarga pamannya jauh dari kata kecukupan, mama kamu selalu dianggap beban dan suatu ketika saat umurnya sudah menginjak sekitar 17 tahun, dia dinikahkan dengan seorang pria teman pamannya sendiri. Ibu kamu nggak bisa nolak. Setelah itu, rumah tangganya nggak berjalan baik, suaminya juga sering melakukan kekerasan.

Sampai suatu ketika, ibu kamu di bawa ke hotel dan dia dijual, oleh suaminya sendiri. Dari sana, semua lebih suram. Kalau kemauan orang yang jadi suami ibu kamu nggak dituruti, ibu kamu bakal disiksa. Kemudian, semua berubah saat ibu kamu sadar dia hamil, dia mengandung kamu. Suaminya tahu dan dia minta supaya kamu digugurkan, karena suaminya impoten, jadi kamu bukan anak dia, melainkan anak dari salah satu pria yang mungkin tidur sama ibu kamu. Tapi ibu kamu memilih kabur.

Dia nggak bisa pergi ke rumah pamannya yang berada jauh dari sana dan dia juga nggak akan diterima jika pulang. Itu sebabnya dia kabur, pergi entah kemana sampai bertemu dengan nyonya Elga di suatu gang. Nara kira nyonya Elga orang baik, dia mau rawat Nara meski awalnya juga selalu membujuk dan menawarkan untuk menggugurkan kandungan Nara saat itu.

Tapi begitulah, ternyata nyonya Elga nggak menawarkan hal gratis. Dia membuat kesepakatan dengan ibu kamu, Nara akan dibiarkan tinggal tapi dia harus bekerja selamanya dengan Elga atau Nara akan memberikan kamu ke Elga saat besar nanti. Dia milih opsi pertama. Itu harga yang harus dia bayar, Seyna. Meskipun nggak bisa dianggap benar, hal yang membuatnya nekad mengambil semua karena ia mempertahankan kamu. Sebenarnya, dia nggak akan pernah bisa keluar dari sana. Itu sebabnya, sebelumnya dia hanya berniat mengeluarkan kamu."

Seyna termenung, air matanya mengumpul di pelupuk mata. Ia sama sekali tak pernah tahu hal itu. Lebih menyakitkan karena ia juga tahu ceritanya dari orang lain. Seolah Seyna tak mengenal dan tak tahu apa yang terjadi pada ibunya sendiri.

"Mama pasti kesulitan. Dia mungkin bisa hidup lebih baik kalau aku nggak ada."

"Stttt ..., kamu nggak boleh ngomong gitu. Dia pasti sayang banget sama kamu, Sey. Ibu tahu nggak akan mudah, tapi sekarang kita harus melanjutkan hidup tanpa dia. Semua yang dia tinggalkan akan dikasih ke kamu. Dan ibu rasa itu cukup untuk sementara waktu, sisanya kamu akan menyusun semua, ibu juga akan ada untuk mendukung kamu."

"Aku nggak tahu harus mulai darimana."

Novita mengusap rambut Seyna. "Apa cita-cita kamu?"

Seyna tak langsung menjawab. Sudah lama sekali ia tak memikirkan cita-citanya, terakhir ditanya cita-cita mungkin saat sekolah dasar. Entah apa ia juga lupa.

"Aku ..., aku nggak tahu."

"Kamu bisa pikirin itu lain kali. Nara sebenarnya mau kamu lanjut kuliah."

"Tapi ..., bukannya aku juga harus kerja? Mulai sekarang aku harus bisa dapat uang sendiri."

"Kita bisa ngurus itu sama-sama nanti, jangan khawatir."

Seyna menatap bu Novita. "Selain mama, aku nggak pernah ketemu orang sebaik ibu. Aku banyak berhutang budi."

"Mama kamu teman ibu, teman baik. Dulu dia juga satu-satunya orang yang jadi teman ibu waktu ibu ngerasa nggak punya siapa-siapa. Hidup nggak selalu baik, Sey. Dan saat itu tiba, kita akan melihat siapa orang-orang yang benar-benar tulus berada di samping kita."

Novita memeluk Seyna. "Kita tahu rasanya kehilangan, ditinggalkan, sendirian dan kesepian. Sesuatu yang tak bisa semua orang pahami. Kita merasakan hal yang sama, dan ibu nggak mau kamu jatuh lebih dalam. Ibu mau berada di samping kamu, seperti yang Nara lakukan untuk ibu dulu. Jadi, kamu nggak perlu merasa berhutang budi."

Seyna balas memeluk bu Novita dengan erat dan memejamkan matanya.

Tanpa mereka ketahui, seseorang sudah memperhatikan mereka dari tadi. Dia melangkah menghampiri kedua orang itu.

"Gue lapar."

Novita dan Seyna mengurai pelukan, sama-sama kaget dan melihat ke arah orang yang baru datang lalu duduk di salah satu kursi yang ada di sana dengan acuh.

Seyna mengusap air matanya yang entah sejak kapan menetes, sementara bu Novita menghela napas.

"Kamu datang-datang salam dulu atau apa gitu. Tumben ke sini?"

"Ini kan rumah gue, gue nggak perlu alasan buat datang ke sini."

Tatapan Alka beralih pada Seyna. "Sampai kapan lo tinggal di rumah gue?"

"Jangan mulai, Ka," ucap bu Novita.

"Gue cuma nanya, bukan ngusir."

"Dia mulai nempatin rumahnya Senin depan, dua hari lagi." Novita yang menjawab.

"Oh."

Alka merogoh sesuatu dari saku jaketnya. Lalu meletakkan ke atas meja.

"Dari si Levin, buat lo," kata Alka pada Seyna.

Kening Seyna mengernyit. Ia ragu untuk mengambil amplop itu.

"Kalau lo nggak mau nerima lo bisa balikin surat itu sendiri ke dia."

Tentu Seyna akan memilih opsi menerima daripada mengembalikan sendiri. Ia mengambil surat itu.

"Yaudah, ibu ke dapur dulu ya Sey," kata Novita.

Seyna mengangguk pelan. Sementara Alka berdiri dan ikut pergi ke dapur.

Perempuan itu mulai membuka amplop. Hanya ada secarik kertas di sana. Ia tak tahu kenapa Levin repot-repot membuat ini. Padahal ada yang namanya teknologi modern.

Seyna membaca apa yang ada pada kertas.

Gue rasa kita nggak akan ketemu untuk waktu yang cukup lama. Tapi bukan berarti gue udah lepasin lo. Sekarang lo bisa menjalani hidup dengan bebas, tapi bukan berarti juga akan lebih mudah dari sebelumnya.

Saat ini, lo masih milik gue, dan gue akan selalu mengawasi lo.

Seyna tak tahu setelah semua ini, ia masih harus berurusan dengan Levin. Sebenarnya, apa yang lelaki itu mau darinya?

***

Silakan tinggalkan jejak

Bagikan cerita ini ke teman-teman kalian juga ya^^

See you!

Levin's FavoriteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang