42. Tak Lagi Searah

15.4K 1.6K 63
                                    

Dua orang lelaki sedang duduk di balkon salah satu kamar apartemen.

"Kayaknya lo udah ngerasa bukan lagi seseorang yang bakal bawa kematian buat cewek di dekat lo," ucap Levin.

Alka menghembuskan asap rokok. "Hm. Ada yang nggak beres?" ia to the point menanyakan alasan Levin memanggilnya selarut ini.

"Menurut lo si Seyna sekarang gimana?"

Kening Alka mengernyit. "Seperti yang udah gue bilang, dia deket sama cowok sekelasnya."

"Lo juga makin deket sama dia kan?"

"Ada yang nggak beres sama lo." Alka heran sebab lelaki di depannya seperti bukan Levin yang ia ketahui.

Levin yang semula menatap jauh ke arah pemandangan kota, jadi menatap Alka. "Gue bakal dijodohin, belum, tapi gue pikir bakal gitu. Gerak-gerik nyokap sudah kebaca. Selama ini dia tahu gue masih ngawasin si Seyna. Gue rasa tinggal tunggu waktu dia bertindak atau kalau nggak, bukan gue yang bakal dia arah, dia bakal ubah target ke si Seyna."

"Apa rencana lo?"

Levin tak langsung menjawab. Ia terkekeh pelan. "Gue nggak tahu kenapa harus bersikeras kayak gini. Apa istimewanya itu cewek? Dulu lo juga nggak mau berurusan sama dia kan kalau bukan gue yang nyuruh? Sekarang lo yang jadi lebih deket."

"Gue rasa cuma respect sama cara dia bertahan."

"Gue nggak suka sama dia. Tapi ..., dia milik gue."

"Mungkin lo cuma terobsesi. Atau sebenernya udah jatuh ..., cinta tapi nggak mau nerima itu. Ini udah kehitung lama semenjak dari awal lo tertarik sama dia."

Alka tahu hal kedua yang ia ucapkan akan ditolak mentah-mentah oleh Levin. Ia juga agak geli membicarakan omong kosong seperti 'cinta'.

"Nggak mungkin."

Kan.

"Bawa dia ke sini besok."

"Buat?"

Levin menaikkan sebelah alis. "Urusan lo cuma sampai bawa dia ke sini, sisanya urusan gue yang nggak harus lo pertanyakan."

"Gue harus tahu rencana lo. Seenggaknya mastiin itu nggak terlalu di luar nalar."

"Lakuin aja tugas lo."

"Apa yang mau lo lakuin ke dia? Bukannya dia udah cukup menderita?"

Levin tertawa sarkas, ia tepuk tangan beberapa kali. "Lo bener-bener beda. Sekarang udah kasihan sama dia? Atau lo juga suka?"

Alka hanya diam menatap lelaki itu. Kemudian tawa Levin berhenti, ia menatap Alka dengan serius. "Lo juga suka sama dia?"

Alka malah menaikkan sebalah sudut bibirnya. "Lo nggak ngerasa pertanyaan lo aneh? 'lo juga suka sama dia', itu artinya lo suka terus nanya gue suka juga atau nggak."

"Pertanyaannya bukan soal gue."

"Kocak. Gue balik sekarang kalau lo nggak mau ngasih tahu rencana lo."

Alka membuang rokok yang masih panjang ke asbak, lalu berdiri.

"Lo suka sama dia?" tanya Levin sekali lagi.

"Itu bukan urusan lo. Mulai sekarang gue berhenti ngawasin dia cuma buat ngejalanin tugas nggak jelas, gue rasa udah cukup urusan lo sama dia."

Alka mulai melangkah hendak pergi.

"Kalau gitu alasan lo berurusan sama dia juga udah cukup. Nggak ada alasan lagi kenapa lo harus deket si Seyna. Lo bisa jauhin dia. Kalau lo emang nggak suka, lo nggak akan sulit buat berhenti."

Langkah Alka terhenti. "Ngaca sih. Lo tahu? Gue pikir dengan apa yang semua lo lakuin dan lo ternyata memang suka si Seyna, lo nggak pantes buat dia."

"Terus siapa yang menurut lo pantes? Lo?" tanya Levin dengan nada meremehkan.

"Entahlah, yang pasti bukan lo."

Alka kembali melanjutkan langkah. Tapi kemudian, Levin menyusulnya. Menarik lelaki itu sampai berbalik lalu melayangkan bogeman mentah pada wajah Alka sampai ia nyaris jatuh karena kekuatan pukulannya.

"Lo nggak usah muncul di depan gue lagi."

Alka meringis samar. Tatapannya menyorot tajam, sebelah tangan lelaki itu mengepal tanda menahan emosi. Ia ingin sekali membalas, tapi jika begitu tandanya ia yang kalah.

"Dengan senang hati."

Alka keluar dari apartemen sebelum akhirnya Levin memporak porandakan isi apartemennya sendiri.

***


"Alka?"

Lamunan lelaki itu buyar, ia langsung menoleh pada orang yang memanggilnya.

"Ya?"

"Aku kira kamu nonton tv, tahunya ngelamun. Aku mau pulang," ucap Seyna karena saat ini mereka berada di tempat Novita dan Alka.

"Oke, ayo."

"Nggak usah, aku pulang sendiri. Kan deket."

Alka menggeleng. Ia berdiri dan tanpa banyak berkata melangkah lebih dulu.

Mereka keluar dari rumah itu, kemudian melangkah pelan menelusuri trotoar.

"Lo lihat si Levin tadi?"

Seyna agak kaget karena bahasannya jadi tiba-tiba pada Levin.

"Ya."

Hening sejenak di antara mereka.

"Jangan khawatir."

Seyna mengernyit, ia tak tahu maksud ucapan Alka apa. Perempuan itu memang merasa khawatir, apalagi soal Levin. Apa begitu terlihat?

Bagaimana mungkin ia tak cemas melihat keberadaan seseorang yang meninggalkan luka mendalam padanya? Waktu boleh saja berlalu, tapi bukan berarti itu menghapus kenangan pahitnya.

***

Pemanasan dulu ya ges ya

Sampai jumpa lagi :)

Levin's FavoriteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang