21. Dimana-mana

31.4K 2.5K 45
                                    

Kalau saja kekuatan tak wajar yang katanya di luar batas kemampuan manusia normal itu benar-benar ada, Seyna ingin punya kekuatan teleportasi, menghilang atau apa saja agar bisa lepas dari Levin. Atau lebih baik ia menghilangkan mereka yang mengganggunya.

Tapi sebagaimana kebanyakan manusia biasa, ia hanya berangan. Mungkin ada untungnya manusia tak diberi kekuatan seperti itu. Tak berdaya saja sudah berpikir macam-macam, apalagi jika benar-benar punya kekuatan super.

Sekarang Seyna merasa putus asa mencari cara agar bisa lepas dari Levin. Apa sebaiknya ia pasrah saja? Mungkin selama ibunya tak tahu hubungannya dengan Levin. Seyna akan baik-baik saja.

"Kenapa lo lakuin itu?" tanya Levin pada Seyna yang agak melamun memikirkan nasib hidupnya.

Seyna beralih menatap lelaki itu dengan tatapan sayu. "Apa?"

Mereka sedang ada di kantin dan duduk berhadapan.

"Lo ngelindungin si Al."

Seyna mengerti maksud ucapan Levin meski lelaki itu hanya berbicara setengah-setengah. Ia menggelengkan kepala. Tak mungkin mengungkap rencana gilanya.

"Entah."

"Lo pasti punya alasan."

"Kemanusiaan?" jawab Seyna asal tapi nadanya masalah seperti bertanya.

Levin hampir tertawa sarkas mendengar itu. Kemanusiaan? Manusia macam apa yang memiliki hati selapang itu untuk melindungi seseorang yang bahkan sering menyiksa dan merundungnya? Benar-benar naif.

Tapi Levin memilih tak bertanya lagi. Ia menopang dagu, menatap Seyna yang menyendok makanan dan makan dengan santai tanpa memedulikan dirinya.

"Selamat Sey."

Seyna kembali menatap Levin, ia mengernyitkan kening karena merasa bingung lelaki di depannya memberi selamat entah untuk apa.

"Selamat?"

"Lo favorit gue sejauh ini."

****

Setelah mata pelajaran ke empat berakhir dan berganti menjadi waktu istirahat, Seyna dipanggil oleh wali kelasnya. Ia tepat berada di belakang pria itu, mereka memasuki ruangan kantor.

"Silakan duduk. Kamu tahu alasan saya manggil kamu ke sini?" tanya wali kelasnya setelah menyimpan map di atas meja.

Seyna duduk di kursi yang diambilkan pria itu tadi. Ia duduk di seberang mejanya. Tapi pak Andreas-wali kelasnya-tak duduk di seberang, melainkan duduk di ujung meja di dekatnya.

"Saya kurang tahu, Pak. Apa saya melakukan kesalahan?"

Pria itu menatap Seyna dari bawah sampai atas. "Sebenarnya ada beberapa guru yang mengeluh karena kamu mulai kehilangan fokus saat belajar. Kamu ada masalah?"

Seyna menggeleng. "Nggak, Pak."

"Dengar, tadi pas saya lagi ngajar, kamu kelihatan melamun. Seynara, kalau ada apa-apa, kamu bisa percaya sama saya. Bahkan kalau mau konsul juga tinggal kamu hubungi saja."

Seyna agak kaget ketika pak Andreas mengelus puncak kepalanya. Lalu mulai memainkan rambutnya. Perempuan itu menelan ludah, lalu mengepalkan kedua tangannya erat. Haruskah Seyna tetap berpikir positif ketika ia mulai seenaknya disentuh?

Sebenarnya, murid-murid di kelasnya bilang, ia adalah 'anak emas' pak Andreas. Bahkan jika harus membantu mengambil atau menaruh buku dan yang lainnya ke kantor, hanya Seyna yang ia suruh.

Tapi menurut perempuan itu, pria ini hanya tak berani menyuruh murid lain, lalu ia jadi tumbal.

"Kalau kamu mau, saya-"

Tok tok tok

Ucapan pak Andreas terhenti kala pintu ruangannya diketuk. Ia menarik tangan dan beralih duduk di kursinya sendiri.

"Masuk."

Seseorang menyembulkan kepalanya di pintu. Kening pria itu mengernyit, Seyna sama sekali tak menatap ke arah pintu dan hanya menundukkan kepala.

"Levin?"

Mendengar nama itu disebut, barulah Seyna mengangkat kepala dan menoleh ke arah pintu.

Benar, orang yang pak Andreas sebut ada di sana. Lalu masuk dan menutup pintu. Ini gila, lelaki itu seperti selalu ada dimana pun ia berada.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya pak Andreas.

"Mungkin saya yang harus tanya begitu. Katanya saya dipanggil ke ruangan Bapak."

"Siapa yang bilang?"

"Nggak tahu."

"Loh? Kamu ini! Nggak, saya nggak ada urusan sama kamu."

Levin malah terlihat acuh, ia melirik Seyna sesaat. "Oh yaudah, saya duduk di sini aja," katanya sambil duduk di sofa kecil yang ada di sana.

"Ngapain? Saya kan nggak ada urusan sama kamu."

"Tapi saya pengen duduk dulu, Pak."

Guru itu menghela napas. Ia beralih menatap Seyna.

"Yasudah Seyna, gitu aja. Jangan sampai ada yang memengaruhi belajar kamu. Kamu tahu kan ketatnya persaingan di SMA ini? Nggak etis kalau saya ngomong soal backing-an," ucap pak Andreas sambil melirik sekilas ke arah Levin.

"Tapi begitulah, kamu bukan orang yang punya backing-an di sekolah ini. Kalau ada apa-apa, ingat kamu bisa hubungi saya," lanjutnya.

Seyna mengangguk saja. Lalu, Guru itu memintanya keluar, Levin juga berdiri dan mengikuti hendak keluar.

"Kamu mau kemana?" tanya pak Andreas pada Levin.

"Keluar. Bapak nggak ada urusan sama saya kan?"

"Jaga sikap kamu."

"Kacanya di sebelah sana, Pak," kata Levin sambil menunjuk kaca yang menggantung di dinding dekat pria itu, lalu keluar.

Pak Andreas menggeleng-gelengkan kepala.

"Anak kurang ajar," katanya setelah Levin pergi.

Lalu tiba-tiba, ia dikejutkan dengan Levin yang kembali menyembulkan kepalanya.

"Omong-omong, Pak, kalau Bapak mau panggil pacar saya ke kantor. Bilang dulu ya Pak, saya nggak suka dia disentuh sama orang lain seenaknya. Permisi, Pak."

Levin pun keluar lagi tanpa memedulikan tindakannya sopan atau tidak. Ia rasa apa yang ia lakukan barusan bahkan sudah lebih dari cukup untuk menghadapi orang seperti sang wali kelas. Ia mungkin harus melakukan sesuatu padanya.

Tatapan mesum pria tua sialan itu sangat mengganggu. Levin muak.

***

😈So dangerous so so so dangerous

Karena aku baik, jadi hari ini double up yeay🤸

Tapi boong, kayaknya aku pernah punya utang update deh. Lunas ya

Yang nunggu Gale dan ayang Aeris update (cerita sebelah), harap bersabar

See you!

Levin's FavoriteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang