Ch 23 : Letting Go

1.9K 152 23
                                    

Leora mencengkram tirai, mengintip diam-diam dari jendela kamar yang berada di lantai dua. Ia menangis kecil ketika melihat Samuel di depak begitu saja, dan tersungkur. Ini adalah kali pertama, Leora melihat kehancuran seorang Samuel. Dari kepala pria itu yang tertunduk dan bahu yang berguncang, Leora tahu bahwa Samuel sedang menangis. Bahkan satu tangan Samuel terkepal, memukul-mukul tanah di halaman-seakan melampiaskan.

Sebelum Samuel melihatnya, secepat itu pula Leora menutup tirainya. Berbalik dan memegang dadanya. Rasanya... seperti ada yang mencabik-cabik jantungnya. Perih dan sesak. Leora seakan tercekik oleh situasi yang tidak pernah ia bayangkan.

Sebelah tangannya memegang test pack-sedari tadi, kini gemetar.

Ya, ia hamil. Hasilnya positif.

Sebelumnya Leora sudah mencobanya berkali-kali dengan merek yang berbeda. Tidak ada yang berubah. Air mata Leora tambah deras membasahi wajah. Kondisi fisiknya memang sudah lebih baik tapi hidupnya tidak akan lagi sama, mulai sekarang.

Tidak ada satu pun orang yang tahu. Leora merahasiakannya dengan rapi. Bahkan ketika ia membeli alat tes kehamilan di supermarket kemarin, ia memang dijaga di luar oleh pengawal yang sudah ditugaskan sang ayah untuknya-namun tidak ada yang menyadarinya. Leora berpura-pura membeli banyak susu coklat dan menyembunyikan benda itu di dalam plastik. Semua itu ia lakukan untuk menemukan jawaban. Dan hari ini...

Ia harus merasakan banyak luka di dalam hatinya.

Ia bukan orang yang bisa mengugurkan janin tak bersalah, dan ia tidak bisa melihat Samuel lebih terpuruk dari ini. Dibuang dan dikucilkan oleh keluarga... adalah hukuman menyakitkan. Terpenjara oleh rasa sepi dan terbiasa berteman dengan hal itu, lalu perlahan sebagian dirimu akan rusak. Karena kau... tidak memiliki tujuan dan makna penting terlahir di dunia.

Tubuh Leora perlahan meluruh disertai tangis yang memilukan. Kedua tangannya menyembunyikan wajah, meredam isakan yang mengeras. Ia tidak ingin lembaran hidup bayi ini selanjutnya berisi kekelaman. Leora tidak ingin bayi ini juga menjadi sebuah kutukan. Sebab ia dan Samuel tidak akan pernah bersama.

Sampai kapan pun, sesuatu itu tidak akan mungkin terjadi.

*

Satu jam kemudian, Leora akhirnya menghapus sisa air mata di wajahnya. Ia bangkit dan berjalan lunglai ke meja, menarik kursi, duduk dan merobek secarik kertas di buku. Keputusan ini adalah keputusan terberat yang ia buat dalam hidupnya-tapi ia harus melakukannya.

Lalu ia meraih pulpen dan mulai menggoreskan sesuatu di sana-menumpahkan seluruh isi hatinya, untuk terakhir kali serta ucapan selamat tinggal untuk... semuanya. Bahkan tanpa sadar air matanya kembali menetes di pipinya.

Maafkan aku, Mama, Papa karena kalian harus membaca surat ini.

Tapi aku sudah memikirkan segalanya. Aku harus pergi. Tolong jangan mencariku. Di mana pun aku berada, apa pun yang aku lalui, aku selalu menyayangi kalian di dalam hatiku. Aku akan selalu menjadi putri kalian. Tidak ada yang berubah.

Ada banyak hal yang telah kulalui dan beberapa di antaranya tidak bisa aku mengerti. Tapi aku ingin jujur satu hal pada kalian. Aku tidak menyesal pada apa pun yang sudah terjadi. Aku belajar menerima segalanya. Pada setiap tetes air mata, pada setiap luka, dan pada setiap rasa sesak yang menyakitkan.

Waktu tidak pernah berputar mundur, dan setiap kenangan tidak pernah bisa terhapus. Bahkan perasaan seseorang takkan semudah itu berubah. Aku tidak bisa menghilang dan menganggap semua ini mimpi. Keadaan saat ini... adalah realita dan aku tidak bisa berhenti. Aku tidak bisa. Semakin hari, semakin aku mengenalnya, aku sadar... bahwa kesepian menyakitkan bisa menghancurkan seseorang. Setiap orang punya alasan ketika melakukan suatu hal. Tidak ada yang benar-benar baik di dunia ini. Kita semua... sama.

Bukankah setiap kesalahan selalu memiliki kesempatan? Selalu ada lembaran baru dalam hidup, dan biarkan aku terus bergerak maju, sekali pun aku tidak tahu akhirnya akan seperti apa.

Aku sudah jatuh padanya...

Aku tidak ingin menyakiti siapa pun.

Tetaplah bahagia walau aku tidak lagi bersama kalian.

Putri kecil kalian,

Leora De Santis.

*

Keesokan harinya, Marcio berjalan cepat ke kamar Leora diikuti Patricia di belakang. Ia tahu bahwa Leora tidak ada di dalam kamar itu, tapi ia ingin memastikan. Marcio sungguh tidak mengira bahwa Leora akan melakukan hal ini. Putri kecilnya-yang ia besarkan-semalam baru saja membius seluruh pengawal yang ia tugaskan untuk menjaga, dan setiap aksi itu terekam oleh cctv-tidak ada yang terlewatkan. Benar-benar jelas.

Kini, pikiran Marcio semakin kacau.

Ketika tiba, pintu langsung disentak Marcio begitu saja. Dan keheningan pekat seketika menyambutnya. Kamar tidur Leora terlihat rapi. Tempat tidur, meja kerja, dan rak buku. Tidak ada yang aneh, sebelum Patricia menemukan secarik kertas di atas meja. Cengkaraman Marcio pada ganggang pintu mengerat. Matanya memerah, rahangnya mengetat.

"Dia menulis surat..." lirih Patricia, mengambil kertas itu lalu membacanya.

"Dia pasti melihat Samuel kemarin."

"Dia pergi dan dia meminta kita untuk tidak mencarinya..." Patricia meneteskan air mata, membekap mulut dan membiarkan Marcio merebut kertas itu.

Dengan saksama Marcio membaca setiap kata yang ditulis Leora. "Dia tidak akan pergi jauh." Dalam hati Marcio memiliki keyakinan besar. Ia merogoh ponsel di saku, dan menghubungi satu nama. "Dia bilang bahwa dia jatuh pada pria itu bukan?"

Berbagai emosi bergejolak di dada Marcio. Marah, kecewa dan kesedihan semua berbaur. Ia selalu menginginkan kebahagiaan untuk putrinya. Namun hari ini... Marcio merasa gagal-bahkan jauh lebih buruk.

"Di mana Leora?" Marcio langsung bertanya saat telepon dijawab oleh Samuel.

Hening.

"Apa maksudmu?"

"Jawab aku, di mana kau menyembunyikan putriku sialan!" teriak Marcio.

"Jangan katakan bahwa dia kabur darimu?"

"Berhenti berpura-pura di depanku, Sam."

"Untuk apa aku berpura-pura di depanmu, Papa. Kau yang memisahkan kami."

"Aku bukan ayahmu."

"Aku tidak peduli. Kau sendiri yang bilang bahwa aku bebas memilih jalanku bukan?"

Tenggorokan Marcio tercekat. Matanya lalu jatuh pada figura foto di meja Leora. Keutuhan keluarga mereka-dulunya. Di sana, tampak dirinya menggendong Samuel di atas pundak. Sementara Patricia berjongkok dan memeluk Leora. Tanpa sadar, air mata menetes lambat di pipi Marcio.

"Jika aku menemukannya, kau harus berhenti menipuku," ucap Samuel getir.

"Keparat sialan."

"Pilihanmu ada dua. Lenyapkan aku, atau... biarkan Leora hidup bersamaku, selamanya." Jeda sejenak. Samuel menarik napas berat namun terasa menusuk hati Marcio. "Apa kau bisa menyepakatinya kali ini?"

"Apa kau bisa dipercaya?" tanya Marcio balik, memejamkan mata.

"Saat aku berhasil membawanya pulang, tentukan pilihanmu... Papa." Setelah itu panggilan terputus. Marcio lantas melempar ponselnya ke lantai hingga rusak, lalu menjambak rambut frustrasi.

"Kita telah kehilangan semuanya..." isak Patricia.

"Tidak. Samuel akan membawa Leora kembali. Dia sudah berjanji."

"Apa?"

Marcio mengusap wajahnya kasar, menyeka air mata yang tadi sempat menodai pipinya. "Dia akan membawa putri kita pulang. Dan setelahnya... aku akan menembak kepalanya."

*

see you in the next chapter

Confined By YouWhere stories live. Discover now