STADIUM AKHIR 10

84 58 10
                                    

Papa



Seorang gadis cantik tengah duduk di salah satu kursi ruang tunggu rumah sakit Bhayangkara, dia adalah Kanaya yang tengah menunggu dokter Diana yang tengah mengurus pasien lain.

Gadis itu terlihat begitu murung, wajahnya sama sekali tak menampakkan rasa tenang melainkan rasa cemas yang begitu besar. Pikirannya membawa gadis itu pada beberapa tahun yang lalu di mana saat Ferdi bertanya kepada anak anaknya apa yang mereka takuti.

"Kita mulai dari zidan dulu. Apa yang kamu takuti?" Zidan tersenyum lalu menoleh ke arah Kanaya.

"Kehilangan Kanaya." Pria yang berumur 13 tahun itu menjawab begitu enteng.

"Memangnya Kanaya akan hilang kemana?" Tanya Kanaya bingung.

"Ya mungkin suatu saat nanti akan yang ada menculikmu?" Ucap Zidan lalu tertawa sementara Kanaya menatap pria di sampingnya itu dengan tatapan tajam.

"Ihhh kak Zidan kok ngomong gitu."

"Bercanda dek."

"Hahah sudah sudah, sekarang giliran kanaya. Apa yang putri cantik ini takuti?" Tanya Ferdi yang beralih menatap Kanaya.

"Kanaya takut mati." Jawaban Kanaya membuat Ferdi dan Zidan tertawa.

"Memangnya kamu tidak akan mati?" Tanya Zidan di sela sela tawanya.

"Bukan begitu, tapi Kanaya ingin berumur panjang. Kanaya mau mati kalau udah punya cucu yang banyak."

Ferdi kembali tertawa, kini priaitu paham apa yang di maksud putri kecilnya itu.

Kanaya tidak ingin meninggal di umur yang terbilang masih muda, gadis itu berharap banyak keinginannya untuk berumur panjang akan terkabulkan namun dokter Diana harus mengatakan hal yang paling pahit dan begitu gadis itu takuti..

"Kanaya, dari hasil laboratorium kamu mengidap kanker stadium akhir. Kanker ini sulit untuk di sembuhkan bahkan tidak akan ada yang bisa selamat."

Kanaya ingin marah tapi takdirnya sudah seperti itu, jika saja Tuhan bisa ia lihat mungkin gadis itu akan bertanya langsung kepadanya kenapa harapannya tidak bisa di kabulkan seperti Tuhan mengabulkan harapan orang lain.

Mau tidak mau, terima atau tidak gadis itu harus bisa sabar dan berharap ia bisa melakukan terapi setiap minggunya tanpa sepengetahuan siapapun. Walaupun harapan untuk bertahan hidup lebih lama sangat kecil atau bahkan tidak ada.

"Kanaya." Panggilan dari dokter Diana membuat Kanaya tersadar dari lamunannya.

Melihat dokter Diana sudah kembali dari mengurus pasien yang lain, Kanaya berdiri dan langsung menghampirinya.

"Kita bisa mulai sekarang." Ucap dokter Diana dan Kanaya hanya menanggapinya dengan anggukan.

~~~~

Sepulang dari rumah sakit Kanaya berencana untuk singgah di rumah Tio. Gadis yang berprofesi sebagai sahabatnya itu mengajak ia untuk makan malam di rumah Tio, sungguh aneh bukan? Yang ngajak makan Karin tapi yang punya rumah Tio. Mau heran tapi seperti itulah persahabatan mereka.

Baru saja ia turun dari taxi keberadaan seorang pria merusak pemandangannya.

"Apa Lo liat liat?" Ucap pria itu yang tak lain adalah Rafa. Jika kalian bertanya kenapa Rafa bisa ada di sana itu karena dia memang tinggal satu kompleks dengan Tio bahkan rumah mereka pun berdekatan.

"Siapa juga yang liatin Lo." Ucap Kanaya jutek.

Rafa sepertinya baru saja akan masuk ke halaman rumahnya tapi melihat taxi yang berhenti di depan rumah Tio membuat pria itu menghentikan langkahnya.

STADIUM AKHIR Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt