STADIUM AKHIR 19

62 43 3
                                    







Kanaya memegang kepalanya yang terasa begitu sakit. Gadis itu terduduk di lantai karena tak kuat untuk menahan sakit yang menyerangnya secara tiba tiba.

"Aaakkhh!!"

Rasanya seperti akan pecah, sungguh gadis itu benar benar merasa kesakitan. Kanaya menahan suaranya agar tidak keluar, takut takut Bella dan Zidan akan mengetahuinya.

Pandangan Kanaya buram, keadaannya sangat kacau. Kanaya menatap di sekitarnya berharap akan ada yang bisa mengatasi sakitnya.

"Obat...iya obat yang di berikan dokter Diana." Kanaya memegang ujung meja kuat agar bisa berdiri.

Gadis itu berdiri tegak meski sesekali akan terjatuh tapi ia bisa menopang tubuhnya untuk melangkah menuju laci yang ada di dekat tempat tidurnya.

"Di mana obatku?" Ucap Kanaya saat tidak menemukan obat yang ia cari di dalam sana.

Kanaya beralih membuka laci bagian bawah namun hasilnya tetap sama. Kepalanya semakin sakit sementara obat belum juga ia temukan.

Kanaya beralih melangkah menuju meja riasnya, ia membuka laci. Barang barang yang ada di dalam laci ia keluarkan namun tak ada satupun barang yang ia cari di sana.

"Apa kamu mencari ini?" Kanaya menghentikan aktivitasnya seketika saat mendengar suara itu.

Gadis itu mendongkak menatap cermin. Ia terkejut saat melihat Zidan ada di pantulan cermin. Gadis itu berdiri lalu tersenyum, ia mencoba untuk terlihat baik baik saja walau sakit di kepalanya terus saja menyerangnya. Matanya menatap tangan Zidan yang memegang botol obat yang ia cari tadi, saat itu juga Kanaya terkejut bagaimana bisa Zidan menemukan botol obatnya.

"Kamu mencari ini kan?" Tanya Zidan lagi.

"Ng-nggak, aku....aku lagi cari buku." Ucap Kanaya mengelak.

Zidan tertawa namun di tawanya terlihat seperti menyimpan kekecewaan.

"Kanaya kamu tidak perlu mengelak." Ucap Zidan sembari menatap Kanaya lekat.

Kanaya memasang tawa palsu agar Zidan bisa percaya kali ini.

"Kak Zidan apaan sih. Aku memang lagi cari buku kok." Kanaya membalikkan badannya dan kembali berpura pura mencari buku. Gadis itu sesekali memejamkan matanya agar bisa menahan sakit.

"Udahlah Kanaya. Kakak sudah tau semuanya." Ucapan Zidan berhasil membuat Kanaya langsung berhenti melakukan pencariannya.

"Rambutmu yang rontok, topi rajut, wajah pucat, dan obat kanker. Sampai kapan kamu akan menyembunyikannya?"

Kanaya diam seribu bahasa. Ia jadi bingung harus menjawab apa, pria itu terlalu pintar dalam menebak sesuatu, ini terlalu cepat untuk Zidan tau. Kanaya bahkan belum siap untuk menceritakannya kepada siapapun.

"Ka-kak Zidan ngomong apa sih." Ucap Kanaya dengan sedikit terkekeh namun ia tak berani untuk membalikkan badannya, mata nya begitu perih karena menahan air mata.

"Sudah berapa lama?" Tanya Zidan yang tidak perduli dengan ucapan Kanaya barusan.

Lagi lagi Kanaya di buat diam oleh pertanyaan mematikan dari Zidan. Rasa sakit menghantam kepalanya sehingga membuatnya tidak bisa berfikir untuk mencari alasan.

"Jawab kakak Kanaya." Ucap Zidan dengan sedikit meninggikan suaranya.

Gadis itu menunduk dengan tangis yang sudah pecah. Apa ini akhir dari rahasianya? Sungguh ini terlalu cepat untuk Kanaya.

"Udah dari lima tahun yang lalu." Jawab Kanaya tanpa menoleh menatap Zidan. Ia sangat takut entah apa respon yang akan di berikan Zidan.

Deg!!

STADIUM AKHIR Where stories live. Discover now