STADIUM AKHIR 33

69 18 1
                                    

Pendirian Kanaya






Mendengar jawaban Kanaya membuat mereka terkejut sekaligus bingung, kenapa? Bukankah dia ingin hidup lebih lama lagi, operasi itu menjanjikan kehidupan untuknya tapi kenapa dia tidak bisa.

"Kenapa?" Tanya Rafa mewakili Zidan dan Bella.

"Dua Minggu lagi aku ada pertandingan kasti, dan itu tidak bisa aku tinggalin."

"Astaghfirullah dek, kamu masih ikut pertandingan?" Tanya Zidan tidak percaya.

Sehari setelah Kanaya keluar dari rumah sakit Zidan memperingati Kanaya untuk tidak mengikuti pertandingan kasti lagi, walaupun sempat terjadi perdebatan antara adik kakak itu, tapi Kanaya memilih untuk mengalah saat itu dan apa yang Zidan dengar saat ini? Kanaya diam diam masih mengikuti pertandingan itu.

"Kak, pertandingan itu sangat penting untukku. Aku nggak bisa keluar gitu aja, gimana nasib team aku nanti." Ucap Kanaya membela diri.

"Dek, kesehatan kamu itu terpenting daripada pertandingan itu." Ucap Zidan yang kini sudah emosi.

"Kak, kamu nggak akan bisa paham gimana pentingnya pertandingan itu buat aku!" Mata Kanaya mulai berkaca-kaca menahan tangis.

"KAMU JUGA NGGAK PAHAM GIMANA KHAWATIRNYA KAKAK SAMA KAMU!" Bentak Zidan, suasana mulai terasa sangat tegang.

"Bang udah bang." Ucap Rafa.

"Zidan, kamu jangan bentak adik kamu." Ucap Bella.

"Sampai kapanpun aku tidak akan pernah meninggalkan pertandingan itu." Kanaya berdiri lalu pergi ke kamarnya.

"Nay, Kanaya." Panggil Rafa tapi Kanaya tidak merespon.

"Dan kakak akan melakukan cara apapun agar kamu nggak ikut pertandingan itu." Teriak Zidan.

Bella hendak berlari mengejar Kanaya, tapi Rafa lebih dulu menahannya, "Biar saya saja Tante."

Bella mengangguk dan membiarkan Rafa mengejar Kanaya. Bella balik menatap Zidan yang masih duduk dengan perasaan tak karuan di sana. Wajahnya masih memerah akibat marah, adiknya itu sungguh keras kepala.

"Zidan, tidak seharusnya kamu membentak adik kamu seperti tadi." Ucap Bella mendudukkan dirinya di samping Zidan.

"Tapi ma, mama kan tau kalau Kanaya itu tidak bisa capek. Kak Diana juga selalu melarang Kanaya untuk melakukan aktivitas berlebihan."

"Mama mengerti sayang, mama juga tidak ingin Kanaya melakukan pertandingan itu. Tapi tidak seperti itu cara memberitahunya."

Zidan menghela nafas berat. Bertengkar dengan Kanaya bukanlah hal yang ia suka tapi sungguh Zidan tidak berniat ingin membentak Kanaya. Rafa mengentikan langkahnya saat melihat gadis itu tengah menangis di balkon. Rafa melangkah pelan menghampiri Kanaya, duduk di samping nya dan merangkul bahunya berusaha memberikan ketenangan untuknya.

"Kalau kamu datang ke sini hanya untuk minta aku berhenti dari pertandingan itu, mending kamu pulang...hiks hiks.." ucap Kanaya dengan masih menangis.

"Udah, kalau masih mau nangis, nangis aja dulu. Biar hati kamu juga tenang." Ucap Rafa. Kanaya menangis sejadi-jadinya. Satu menit? Dua menit? Tiga menit? Gadis itu masih belum berhenti juga, penyakit yang di deritanya membuat sikap gadis itu jauh lebih sensitif. Merasa lebih tenang, gadis itu akhirnya berhenti menangis.

"Udah?" Tanya Rafa.

Kanaya mengangguk pelan. Rafa tersenyum lalu menghela nafas.

"Aku tau betapa pentingnya pertandingan itu untuk mu, aku juga tau maksud baik bang Zidan , dia tidak berniat untuk membentak mu, bang Zidan hanya khawatir sama kesehatan kamu." Ucap Rafa sembari mengusap pundak Kanaya, "Nay, di dunia ini tidak ada seorang kakak yang tega membentak adiknya apalagi itu adik yang paling dia sayang. Dan tidak ada kakak yang mau adiknya itu kenapa napa."

STADIUM AKHIR Where stories live. Discover now