STADIUM AKHIR 16

60 46 3
                                    

kisah Rafa





Rafa dan Kanaya sama sama duduk di kursi kayu yang ada di  dekat Kedai minuman dengan masing masin tangan mereka memegang sebuah gelas plastik yang berisi minuman dingin.

"Apa yang Lo harapin dari kehidupan?" Tanya Rafa membuat Kanaya menghentikan aktivitasnya meminum minumannya.

"Kenapa Lo bertanya seperti itu?"

"Setiap orang pasti memiliki tujuan dan juga harapan untuk terus bisa hidup. Dan gue hanya penasaran apa yang Lo harapin dari kehidupan ini."

Kanaya menundukkan kepalanya, ia tidak akan mungkin bisa hidup lama. Kata kata dokter Diana membuatnya takut untuk sekedar berharap sekecil apapun itu untuk hidupnya.

Kehidupan sungguh tidak adil untuknya. Gadis itu ingin juga merasakan umur yang panjang seperti orang orang yang kini sudah berumur lebih dari 50 tahun nan.

"Saat gue kecil, gue ingin bisa mengalahkan Manny Ramirez. Setiap kali ada acara pertandingan kasti di stasiun televisi, papa pasti akan melupakan gue sebagai putrinya, dia akan sibuk nonton Manny Ramirez itu."

"Gue hanya ingin papa itu berhenti muji muji Manny Ramirez, gue juga pengen di puji. Dari situ gue memutuskan untuk bisa jadi pemain kasti terhebat. Yaa gue tau kalau Kasti itu permainan yang kurang menarik untuk sebagian orang tapi bagi gue itu sangat berharga karena bokap gue suka permainan itu."

Kanaya terdiam beberapa saat, ia menatap ke depan dengan tatapan kosong. Mata gadis itu memerah seperti tengah membendung sebuah air.

"Gue nggak punya harapan lagi sekarang. Papa udah nggak ada." Ucap Kanaya terdengar sendu.

"Dan kehidupan gue udah nggak akan lama lagi." Batin Kanaya.

Dengan gerakan cepat Kanaya menghapus air matanya agar Rafa tidak melihatnya menangis namun ia salah, sedari tadi Rafa memperhatikannya. Pria itu tersenyum lalu menarik nafas dalam-dalam untuk mulai berbicara.

"Lo masih bisa wujutin harapan Lo itu."

"Gue yakin bokap Lo akan bangga liat Lo menjadi juara dalam pertandingan Kasti nanti." Ucap Rafa membuat gadis yang duduk di sampingnya itu langsung menoleh menatapnya.

Kanaya tersenyum kecut. Gadis itu memiliki harapan untuk bisa memenangkan setiap pertandingan dan juga bisa berumur panjang seperti yang lainnnya, namun. Sayang seribu sayang tumor yang bersarang di kepalanya sudah merebut semua harapan itu.

"Gue nggak tau akan bisa menang atau nggak."

Kanaya terkekeh lalu kembali mengalihkan pandangannya pada sebuah pohon yang tidak jauh darinya, pohon itu tidak terlalu tinggi namun sudah terlihat layu, daun daunnya yang banyak menguning menandakan bahwa pohon itu tidak tumbuh dengan subur.

"Lo liat pohon itu?" Tanya Kanaya sembari menunjuk pohon yang ia lihat tadi.

Rafa tampak bingung saat melihat apa yang di tunjuk Kanaya. Namun ia lebih memilih diam untuk mendengarkan ucapan Kanaya selanjutnya.

"Gue seperti pohon itu. Dia menancap di dalam tanah tapi terlihat layu dan mungkin sebentar lagi akan mati." Rafa semakin bingung dengan apa yang di maksud Kanaya.

"A-." Baru akan membuka mulut untuk berucap pria itu harus terpaksa menghentikannya.

"Lo sendiri? Apa yang Lo harapkan dari kehidupan ini?" Rafa berniat ingin menanyakan maksud Kanaya tadi namun pria itu mengurungkan niatnya.

Pria itu menggeleng untuk menjawab pertanyaan dari Kanaya. "Nggak ada." Ucapnya.

"Nggak ada?"

"Iya nggak ada. Bagi gue nggak ada yang spesial di kehidupan gue."

STADIUM AKHIR Where stories live. Discover now