01. After Before

1.3K 161 26
                                    

"I need you. Not a hero, or anything"

°°•°•°•°•°°


.
.
.
.
.

Pada pagi hari nada default alarm dari sebuah handphone membangunkan tidur ternyamannya setelah sekian lama. Tidur berdua di atas ranjang berukuran 120x200 tidak begitu buruk, tubuhnya masih bisa berbaring lurus dan sesekali dalam tertidur masih mampu berubah posisi. Dua bantal bisa disejajarkan—tanpa guling, keduanya tidur menggunakan bantal masing-masing—tidak ada adegan romantis berbagi bantal di malam pertama akhirnya mereka bertemu.

Sedikit bicara, Haechan lelah sehabis mengudara belasan jam. Dia dan Renjun memutuskan tidur cepat. Pertanyaan di dalam kepala bisa diucapkan nanti.

Bersyukur kedatangannya disambut, kalau tidak, dia akan luntang-lantung mencari hotel malam itu. Kepergiannya ke Inggris, mendatangi seorang Renjun tepatnya berada di Bournemouth, dengan penuh percaya diri dia datang tanpa menyiapkan rencana cadangan: seperti membooking kamar di hotel terdekat andai saja dirinya tertolak.

Seingatnya, hari belum memasuki akhir pekan, Renjun harus bangun bersiap-siap ke kampus. "Dude, wake up." Seruan lembutnya bernada serak. Tubuhnya dimiringkan dengan mata masih terpejam.

"I'm awake."

Haechan membuka mata. "Lo ga tidur?"

Renjun tersenyum tipis, hampir tak terlihat.

"Dude!" sentaknya. "Kenapa ga tidur? Masih ga bisa tidur? Harusnya lo bangunin gue kalau ga bisa tidur."

"Gue tidur kok. Bangun pagi buta dan melihat lo ada di depan gue ..., rasanya sayang buat membuang waktu kalau gue tidur lagi," kata Renjun, "Dude, For me it's still like a dream you're here next to me."

Napas Haechan menjadi berat mendengarnya.

"Do you sleep well?" tanya Renjun. Jemarinya merambat di antara rahang Haechan, beralih ke bibir, mengusapnya hati-hati. Matanya mengamati dengan lekat, seakan membuktikan kepada diri sendiri bahwa apa yang dia sentuh adalah nyata, bukan delusi akibat terlalu banyak mengonsumsi obat. "You almost have nightmares every night when I'm here and you there."

Haechan menarik tangan Renjun di wajahnya, juga menarik lelaki itu mendekat.

"CK, gue ga mau pelukan." Renjun menahan, dia tidak ingin didekap. "I wanna see you," beritahunya.

Sebelah alis Haechan terangkat, tak menduga akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut seorang Renjun. Dia pikir, hari-harinya setelah meminta maaf dan berbaikan, lelaki itu akan mempertahankan sikap sinisnya—dia tidak mungkin begitu cepat dimaafkan bukan.

"But, dude, you need to go to your class."

"Tau," sahut Renjun singkat. "Lima menit lagi."

Haechan menahan senyumnya. "Oke," jawabnya, sekuat tenaga meredam girang di dalam dada.

Renjun benar-benar menatapnya saja, menatap tanpa melakukan hal lain. Dia bahkan melawan cara tubuh manusia bekerja yang mengharuskan kelopak mata berkedip di setiap hitungan lima detik.

"Gue ga bakal menghilang," ucap Haechan. Mengingatkan, siapa tahu lelaki itu hanya lupa, bukan sengaja.

"Diam," kata Renjun datar.

"Am I so handsome?"

"No," sanggah Renjun. "But, I need you. Not a hero, or anything."

Haechan mengatur napas, sejauh ini mencoba mengenal Renjun, saat mulut lelaki itu bicara dengan intonasi datar, tapi kalimat yang diucapkan begitu dalam maknanya, jantungnya masih belum terbiasa.

"Mmm, I'll remember it. You just need me."

"Stop being stupid."

"I'll try. I promise," gumam Haechan diiringi anggukan.

Renjun tersenyum.

"Lo senyum?" tanya Haechan terheran.

"Mmm," gumam Renjun.

"Can I kiss?" tanya Haechan meminta izin.

"No."

Oh, jelas dia tidak membantah saat lelaki itu tidak menginginkannya.

"Only I can kiss you."

Haechan menaikkan sebelah alisnya. "Njun?"

"Only me," ucap Renjun, lalu mendekat dan mengecup singkat bibir itu. Mengelus setelahnya. Dan tersenyum entah untuk apa.


🔖

COMING AROUND [3rd Book]Where stories live. Discover now