09. Dua Setengah Jam

759 140 17
                                    

°°•°•°•°•°°
.
.
.
.
.

"Bisa kirim alamat apartemen Haechan ke gue, ga?" Renjun bicara kepada Darius melalui telepon.

"Lo mau ke tempat Haechan?" Darius balik bertanya. "Kapan?"

"Sekarang," ujar Renjun.

"Bisa tunggu gue pulang dari kafe? Haechan berpesan, gue yang harus bawa mobil ke London kalau lo mau ketemu dia."

"What the hell,"ucap Renjun pelan. "Ga perlu!" katanya kepada Darius. "Mobil Haechan sama gue. Gue bisa pergi sendiri."

"Tapi—"

"Oh please,"desak Renjun. "Cuma Bournemouth-London. Gue yang maksa. Haechan ga bakal mecat lo."

Kayla yang duduk di kursi taman bersama Renjun menaikkan sebelah alisnya. Baru sekali bertemu dengan sosok Haechan, dari sikap Haechan saat mereka camping bersama, lelaki itu bukan manusia bersikap arogan: memecat orang lain semaunya.

"Kenapa ga nunggu gue aja? Kita pergi berdua."

"Nunggu lo pulang kerja, lama," protes Renjun. "Send the address now, okay?" Renjun memutuskan telepon. Dia menoleh ke arah Kayla yang sedari tadi menatapnya heran. "Ada yang aneh di muka gue?" tanyanya.

"Gara-gara lo pergi sendiri, Ka Darius bisa dipecat?" ujar Kayla.

Renjun terkekeh. "Haechan sanggup melakukan apa aja."

"Seram banget gue dengarnya," kata Kayla.

"Bukannya semua orang kaya sikapnya sama semua?" ucap Renjun dingin.

Kayla mencibir. "Gue ga tuh," bantahnya.

"Lo orang kaya?"

"Bukan gue sih yang kaya," sahut Kayla, pelan. "Orang tua gue."

"Nah, beda sama Haechan. Emang dianya yang kaya raya. Karena itu dia sedikit gila."

Kayla menatap Renjun dengan dahi berkerut. "Lebih aneh lagi lo yang suka sama orang gila."

Renjun membuka mulut ingin membalas ucapan Kayla, tapi belum sempat bersuara, denting notifikasi di handphone menghalangi niatnya. Pesan dari Darius berisi alamat lengkap apartemen Haechan beserta link Map. Dia berdiri dari kursi taman. Berpamitan dengan Kayla.

"Lo yakin pergi ke London sendiri?" tanya Kayla.

Baru dua langkah menjauh dari wanita itu, Renjun berhenti dan memutar badannya. Seulas senyuman terlihat di wajahnya. "Beda negara aja sanggup gue datangi, apalagi beda kota doang."

"Nyetir sendiri?"

"I've been traveling a lot and driving myself," beritahu Renjun.

Kayla tersenyum aneh. "Gue rasa lo berdua sama gilanya."

Tentu, Renjun tidak akan keberatan disebut gila—banyak tindakan gila lainnya yang dia lakukan terhadap perasaannya kepada Haechan—jika Kayla mengetahuinya, wanita itu pasti akan meneriakinya dengan sebutan 'sinting' seperti yang sering dilakukan oleh Jaemin.

Renjun menaikkan bahunya. "Whatever." Dia tersenyum sebelum benar-benar meninggalkan Kayla menuju parkiran.

Dua hari yang lalu Haechan meminjamkan mobil—Renjun menolak menganggap mobil itu sebuah hadiah. Dia diperintahkan pergi sendiri menge-ndarai mobil ke kampus agar tak perlu sering semobil dengan Kayla. Renjun melanggar titah lelaki itu, baginya selagi Kayla bermurah hati menjemput dan menjadi sopir pribadi untuknya, kenapa dia harus melajukan mobil seorang diri? Lagi pula, pergi menaiki mobil sendiri adalah pemborosan bahan bakar, dia bisa menghemat dengan pergi berdua Kayla.

Hari ini, karena jadwal kuliahnya berakhir lebih cepat dia memutuskan membawa mobil pinjaman Haechan ke kampus. Keluar dari kelas terakhir, setelah berpisah dengan teman-teman lainnya—dia baru berpisah dengan Kayla beberapa menit lalu, dia mengendarai mobil Haechan menuju alamat yang Darius kirim kepadanya. Pergi ke London. Seorang diri. Tanpa memberi tahu Haechan tentang kunjungannya

🔖

Mobil itu memang dititipkan untuk mempermudah bertemu di saat dirinya ingin, bukan? Meskipun enggan menganggap mobil itu miliknya, baginya hak untuk bertemu di saat dia ingin adalah mutlak.

Renjun tak suka banyak bicara. Bicara tentang isi hati pun bukan keahlian-nya. Dia adalah makhluk yang senang bergerak secara diam-diam. Memuja dalam keheningan. Membuktikan dengan tindakan. Sederhananya, rindunya berbulan-bulan tak terbayar dengan bertatap wajah dalam hitungan hari saja.

Dia membiasakan diri tanpa aroma lelaki itu di sekelilingnya. Berhenti menyeduh cokelat panas demi mencari ketenangan. Namun, merasa aman tak sepenuhnya dia genggam kembali jika berjauhan dengan Haechan.

Mereka melakukan hal-hal standar yang sering dilakukan oleh orang berjarak: komunikasi online. Renjun mendengar suara dan melihat wajah Haechan melalui telepon selama dua hari berpisah. Namun, rakusnya ingin berdekatan menimbulkan gelisah.

Renjun menyukai aroma tubuh bercampur parfum dari tubuh Haechan. Di dalam kepalanya sudah tersemat sebuah kepercayaan bahwa wangi Haechan adalah ramuan terampuh memberi rasa aman. Haechan tak perlu melakukan banyak hal, saling berdekatan dalam diam saja menimbulkan nyaman.

Terkadang rindu tak terbayar dengan mendengar kabar baik melalui pesan online saja. Perlu untuk berjumpa secara nyata. Menyentuh secara utuh.

Yang semu bukan sebuah kepastian, sedangkan yang Renjun perlukan seorang Haechan dengan segala yang ada pada tubuh dan di dalam dirinya.

Disebut 'gila', bahkan dianggap sinting pun dengan rendah hati gelar itu dia terima. Nalarnya sudah tidak waras. Logikanya rusak. Irama detak jantung seseorang diibaratkan alunan pengantar tidur, dan hal itu terjadi hanya pada dirinya terhadap Haechan.

Dia menempuh perjalanan berjarak dua setengah jam, dari sore dan baru tiba malam, itu untuk dirinya. Untuk rindunya. Bukan untuk Haechan, apalagi untuk orang lain.

Dia sedang mengatasi rindunya yang harus dituntaskan.

"Lo ke sini sendiri? Naik mobil? Di malam hari?" Pertanyaan beruntun menyambut kedatangannya.

"Aren't you happy to see me?" Sarkas Renjun. Matanya menyipit menatap tajam.

🔖

COMING AROUND [3rd Book]Where stories live. Discover now