10. Studio Apartement

796 133 31
                                    

°°•°•°•°•°°
.
.
.
.
.

"Aren't you happy to see me?"

"Bukan ga senang liat lo di sini, tapi ...." Haechan berusaha membantah.

"Ya udah," potong Renjun. "Minggir." Didorongnya Haechan, masuk ke dalam tanpa menunggu dipersilahkan.

Pintu masuk berada di sisi kiri. Memasuki tempat itu penglihatannya terpana disambut sebuah ruangan luas tanpa sekat—terdapat kamar kecil di kiri pintu masuk. Tinggi dindingnya empat meter, setengah bagian dari sepanjang dinding di depan adalah kaca—membentang dari kiri hingga tengah ruangan. Semua di cat putih. Tempat seluas itu, perabotan yang terdapat hanya meja kerja berserta kursi di tengah sisi kiri ruangan dan enam sofa Modular disusun berkelompok membentuk persegi di kanan, di ruangan tak berdinding kaca.

"Kenapa nyewa studio sebesar ini buat tempat tinggal?" tanya Renjun. Irisnya nyaman memandangi jendela tanpa gorden, sedang menyuguhkan langit malam.

"Dude, lepas sepatu lo!" seru Haechan. "Gue baru aja ngepel lantai."

Renjun menunduk, jejak sepatunya membekas di sepanjang langkahnya. Dia berbalik dan berdecak. "Kenapa milih lantai vynil, sih? Sok rajin banget lagi dipel segala."

Sebelah alis Haechan naik. "Kok ngatur? Terserah gue dong. Gue baru pindahan, ya jelas harus dipel. Kenapa lantainya vynil, mana gue tau. Lantainya udah kayak gini sebelum gue pindah."

Renjun mengontrol diri untuk tidak berargumen meski ingin. Bahunya turun dan wajahnya terlihat jelas kesal dipinta melepas sepatu.

"Berhenti di sana," titah Haechan. Dia mendekat dan berdiri membelaka-ngi Renjun. "Naik!"

"Ke mana?" heran Renjun.

"Kalau lo balik ke pintu buat ngelepas sepatu, lantainya bakal dua kali lebih kotor." Tangan Renjun diambil dan dia letakkan di pundaknya, dengan sedikit merendahkan tinggi tubuhnya dia mundur satu langkah lalu menarik lelaki itu, mengangkat tubuh itu naik ke punggungnya.

"Lo pikir gue anak kecil?" sungut Renjun. Tiba-tiba diangkat membuatnya terlonjak dan refleks berpegangan pada leher Haechan.

"Jangan dicekik," kata Haechan dingin.

"Maaf." Renjun mengganti pegangannya ke pundak Haechan. "Turunin gue," pintanya datar.

"Diam," balas Haechan tegas. Pelukannya pada kaki di kedua sisi pinggulnya dipererat.

"Alasan lo aja, kan?" hardik Renjun.

"Iya," jawab Haechan jujur. "Pegangan, ga?"

"Gue berat. Turunin."

"Masih berat cinta gue ke lo," ucap Haechan sambil tertawa pelan.

"Dasar gila," desis Renjun dan mendelik.

"Kenapa gue milih studio ketimbang apartemen biasa, karena gue ga suka ruangan banyak sekat." Haechan memberitahu alasannya memilih tempat itu untuk tempat tinggal. Dia melepaskan sepatu Renjun tanpa menurunkan tubuh lelaki itu. "Tempat tinggal gue di lantai tujuh gedung bank cuma ada satu kamar, itu pun buat clothes room, ingat?"

Renjun diam.

"Rumah gue di Jakarta cuma satu lantai. Semua kamar berdekatan. Ngasih tau aja sih," tambah Haechan. Dia membawa Renjun masuk ke kamar kecil di kiri pintu utama. Beberapa kardus berisi pakaian tergeletak di lantai, belum seluruhnya digantung pada gantungan besi yang ditempel di sepanjang dinding. Ada pintu lain di sana, pintu kamar mandi.

"Kenapa?" tanya Renjun.

"Gue harus tau di mana keluarga gue saat berada di rumah."

"Kenapa?" tanya Renjun lagi. Pegangannya pada pundak merambat turun memeluk dari belakang.

COMING AROUND [3rd Book]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang