15. Menjelang Pagi

794 125 19
                                    

"Dia mencintai si bajingan itu—dengan caranya sendiri"
°°•°•°•°•°°
.
.
.
.
.

"Tidur."

"No, I wanna see you sleep."

"Takut gue menghilang?"

Renjun diam. Menyematkan maniknya dan menolak berkedip, mengawasi sosok yang berbaring di sebelahnya.

Haechan mendekat dan mengecup singkat bibir Renjun. "Pegang erat tangan gue." Dia menyerahkan kedua tangannya untuk dipegang seerat mungkin. "Bikin gue ga bisa pergi."

Alih-alih menggenggam tangan itu, Renjun memilih tuju pada ceruk leher Haechan. Diturunkan posisi berbaringnya. Bergeser semakin dekat. Membenamkan wajahnya di sana, baru memeluk.

Mengerti apa kehendak Renjun, Haechan balas memeluk dan mencoba tidur. Selagi terjaga, tangannya mengusap pundak yang sekali-kali bergetar sisa dari isak tangisnya. Mencoba menenangkan. Semakin melamban, lalu benar-benar berhenti saat dia sepenuhnya tertidur.

Renjun mendongak, memeriksa apakah Haechan sungguh tertidur. Yakin, dia melepaskan pelukannya dan turun dari tempat tidur.

Hari menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Dia sukar tertidur. Sudah coba dia pejamkan mata dan beristirahat, tapi gagal. Reka ulang adegan di dalam mimpi terus menusuk ujung rongga di dada tiap kali mendapati semua jejak tentang Haechan di tubuhnya menghilang. Kelopak matanya terbuka sendiri meski berat akibat bengkak sehabis menangis dalam waktu lama.

Dia telusuri ruangan itu. Menarik gorden yang menutupi sebagian besar dinding kaca—mencari tahu apakah dari tempatnya berada, dari dinding kaca itu, bintang mampu terlihat oleh mata telanjang.

Nihil.

Malam tetaplah malam, tapi tidak setiap langit malam menyajikan bintik keemasan yang disebut bintang.

Renjun berpindah. Dia duduk di kursi kerja miliknya dan membaringkan kepala di sana. Diam dalam waktu lama. Isi kepalanya sibuk berkelana. Cemasnya sungguh tidak berdasar. Berpangku pada mimpi yang mustahil berubah nyata—seseorang tidak akan menghilang seperti debu begitu saja. Haechan akan pergi suatu hari nanti—pasti, karena yang bernyawa akan mati—tapi, bukan dengan tidak masuk akal caranya.

Kewarasannya menegur keras cara bekerja hati. Kenapa harus merasa sakit hanya karena mimpi? Haechan jelas masih di tempat tidur sedang tertidur pulas.

Nyata yang begitu asing mengusik sisinya lain di dalam diri. Dia berikrar sanggup serba sendiri. Menolak menjadi beban hidup orang lain. Mengutuk hidupnya untuk tidak bersandar kepada pundak selain tangguhnya sendiri. Namun, membayangkan hari-harinya tanpa jejak hadir Haechan, separuh jiwa seakan mati.

Pertengkaran terbesar mereka pernah terjadi. Bukan jarak yang menyakiti, tapi kedustaan lidah mencetuskan kalimat sanggup hidup tanpa peduli satu sama lain.

Fakta berlawanan dari apa yang disombongkan. Membayangkan Haechan pada akhirnya terbiasa tanpa dirinya, bagaimana dia menjalani hari adalah bukti beratnya menanggung omongannya sendiri. Bergantung pada obat untuk tidur. Gila akan aroma cokelat, cemas jika tak menghirup aroma itu.

Dia menjadi segila itu.

Temboknya tidak sekokoh dulu. Dijajah oleh hati sendiri bersenjata cinta. Semuanya runtuh. Anehnya, kalahnya bukan kalah. Melainkan ranah baru yang lebih hangat di balik tembok dinginnya dulu.

Dia mencintai si bajingan itu—dengan caranya sendiri.

Semua fantasi lelaki gila itu terwujud. Dari ingin menjadi peri penuh keajaiban dalam hidupnya. Tato tentangnya. Menjadi sebuah kincir angin yang terus berputar dan menyimpan energi, lalu menjadi pemasok energi dalam hidupnya. Menjadi seorang ayah, kakak serta teman. Menjadi yellow-nya. Menjadi Ursanya.

Tanpa disadari, seorang Haechan sudah berhasil memiliki banyak arti dalam hidupnya.

Dan, tanpa disadari langit gelap bergeser di dorong matahari dari timur. Menyingsing pekat menjadi semburat keemasan. Menandakan pagi akan segera hadir. Namun, kantuk dari matanya seakan kabur tak tahu diri.

Dari duduk di kursi, lalu bersila di atas meja panjang, duduknya konsisten mengarah dinding kaca. Seakan sengaja menunggu malam menjadi pagi. Tak berniat tidur.

"Apa matahari lebih menarik dari gue?"

Tarikan napas yang dalam dia lakukan, menghembuskannya kemudian sembari menggeleng pelan dan menunduk. "Mana mungkin," akunya.

"Sejak kapan di sini?"

Ah, Renjun lupa bahwa bangunnya Haechan bisa berbuah panik saat tidak ada dirinya di sisi lelaki itu. "Maaf." Terlalu sibuk dengan takutnya, dia lupa akan hal yang mampu membuat lelaki itu takut.

Mulutnya terkekeh pelan, hampir terdengar seperti hembusan napas yang tersengal. Menertawakan keegoisan yang baru disadari: merasa menjadi sisi yang paling tersakiti—mimpinya tentang kehilangan, tapi saat terjaga, Haechan selalu ada di saat matanya terbuka. Berbeda dengan apa yang dialami lelaki itu—karena perbuatannya, mimpi buruk lelaki itu sama tentang kehilangan, tapi saat terjaga dia sendirian: ditinggalkan sungguh olehnya.

Diraihnya tangan Haechan. Mengelus mencari bekas sayatan di sana—hasil dari lelaki itu melindunginya akan serangan wanita gila. Mereka sama-sama terluka, sama menyisakan bekas, bedanya dia menutupnya dengan tato garis berwarna merah dan bekas luka di tangan lelaki itu dibiarkan begitu saja.

"Njun?"

Sebuah kecupan terasa hangat di ujung bibirnya.

Pantaskah?

Kenapa si bajingan itu begitu lembut perilakunya.

"Gue harus apa?" Haechan bertanya.

Gue yang harus apa?

Kecupan lain hadir begitu lembut di sisi kiri wajahnya.

"Ternyata gue menyakiti lo, ya?"

Haechan tersenyum saja.

"Chan," ujar Renjun. Matanya yang yakin bengkak menjadi tempat berikutnya Haechan mengecup. Membuatnya terpejam.

"Mmm?" Lelaki itu berdeham lembut. Menaruh wajahnya di pundak Renjun, dan mengecup di sana.

"I love you."

"Mmm, me too," sahut Haechan. Memeluk.

"Gue takut."

"Dude, I'm here." Haechan mengelus punggung yang dia peluk.

"But in my dream—"

"Sssttt ...," Haechan menenangkan. "Gue di sini. Ga ke mana-mana"

"Chan," panggil Renjun serak, dia menangis.

"Yes, I'm here," sahut Haechan. "Silakan menangis sepuas lo. Gue ga bakal ngeremehin lo. Gue ga bakal melarang. Gue bakal nunggu lo selesai."

🔖

Renjun sudah kembali ke flat diantar oleh dirinya sendiri. Memastikan lelaki itu tiba tanpa lecet dengan mata kepalanya sendiri.

Di studio, saat dia hendak bekerja di meja panjang, sebuah goresan tinta hitam membentuk bunga matahari di sudut meja menarik perhatiannya. Terjaganya Renjun menghasilkan lukisan itu. Bibirnya tersenyum. Gambar itu persis seperti bunga matahari pada pagar pembatas di halaman belakang rumah Renjun. Bedanya lebih kecil, dan gambar di atas meja tak diberi warna—atau belum.

Haechan berharap Renjun akan menyelesaikan gambar itu saat dia kembali ke Studio lagi, nanti.

🔖


😭😭😭
Jangan tanya kenapa emotnya nanges

COMING AROUND [3rd Book]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon