17. Everything not mean EVERYTHING

856 134 27
                                    

°°•°•°•°•°°
.
.
.
.
.

Mengendalikan perasaan miliknya dengan caranya sendiri. Begitulah Renjun.

Jauh ribuan hari lalu dari mula dia mengenal seorang Haechan, tumbuh rasa jengkelnya menjadi nyaman—dia atasi sendiri tanpa mengumandangkan perasaan miliknya seperti Haechan: mengikrarkan pera-saannya secara lantang.

Dengan caranya, perasaan yang tumbuh adalah tanggung jawab penuh bagi dirinya sendiri. Dia satu-satunya orang yang mengenal dirinya sendiri: dia tahu dia telah jatuh pada pesona seorang Haechan. Tubuhnya saja sudah setuju, bergerak tanpa perintah melindungi lelaki itu—rela terluka. Gelisahnya tiba di saat membayangkan hal jelek akan menimpa lelaki itu: dia rela melakukan hal yang tak seharusnya dia lakukan—meretas sistem pengaman dan menghapus beberapa video.

Dia tidak ingin Haechan dalam masalah, dan bukan sikapnya mengurusi perkara kesusahan hidup orang lain.

Jika bukan karena jenis reaksi kimia di dalam hati manusia yang disebut cinta, akal sehatnya masih waras, dia tidak akan melakukan hal-hal yang bukan kebiasaannya.

Semakin paham, perasaan itu membuat waspadanya meningkat. Dia tidak suka saat menjadi bukan dirinya. Di sisi lain, dia juga tak bisa menghilangkan perasaannya terhadap Haechan begitu saja.

Mengagumi sekaligus menjaga secara diam-diam adalah caranya. Toh, Haechan dan dirinya sama-sama membenci jika akhirnya mereka berjauhan, kehilangan kabar, kehilangan jejak.

Ada beberapa momen dirinya adalah si jahat. Meninggalkan lelaki itu. Lenyap semaunya. Dia sadar menjadi sejahat apa. Itu bagian dari dirinya. Bentuk pertahanan terhadap perasaan lain selain kasih sayangnya terhadap Haechan.

Dia adalah kepribadian yang selalu mendapati sinyal terselubung saat kegilaannya di luar batas wajar. Dia terbiasa menahan segalanya—semua jenis perasaan. Di saat sinyal itu mengirim isyarat, Renjun perlu kembali menjadi diri yang berada di balik tembok tak kasat mata.

Haechan sudah bercampur ke dalam segala aspek dalam hidupnya, itu benar, tapi Renjun tetap perlu mempertahankan aspek lainnya. Dia masih perlu fokus pada kuliahnya, pilihannya mengejar hal yang sempat dia kubur, harus dia pertanggung jawabkan. Egoisnya berhak dia junjung meskipun tahu pilihannya akan menyakiti seseorang. Sekarang pun sama, rindunya, ingin berdekatan dengan Haechan masih belum berhasil dia kendalikan, tapi dia harus sering menahannya di beberapa keadaan. Dia harus mengerjakan beberapa tugas di ruangan flatnya, dengan tenang. Dia harus bertemu Kayla dan teman lainnya. Dia harus tetap aktif mengerjakan proyek animasi dan mendapatkan sedikit penghasilan dari sana. Tidak membuatnya kaya, setidaknya dia mendapatkan nominal dari hal kesukaannya. Tidak sepenuhnya bergantung pada kemurahan hati Haechan menghamburkan kekayaan kepadanya—walau nyatanya, sebagian besar kekayaan yang Haechan sodorkan selalu ditolak.

Arti segalanya seorang Haechan baginya, tidak berarti segalanya. Pentingnya lelaki itu memiliki takaran tersendiri. Begitulah aturannya.

Sudah berhari-hari dia menahan diri untuk tidak pergi ke London. Tidak menemui Haechan dan melihat lelaki itu dengan mata telanjang. Rindunya masih bergejolak, akan tetapi masih sanggup dikendalikan oleh otak penuh pemikiran rasionalnya. Haechan sendiri pasti sibuk dengan urusannya, ada kalanya Renjun menahan diri untuk tidak menelepon lelaki itu, takut mengganggu. Lalu, dia sendiri akan menyibukkan diri pada tugas dan proyek rahasianya.

Terhitung sudah hari ke empat mereka tak bertemu, sore tepatnya pukul 06.00 waktu setempat, ketukan di pintu terdengar tiga kali, menarik Renjun keluar dari fokus menggambar. Siaganya meningkat, benar saja Haechan muncul dari balik pintu dan masuk seakan flat itu tempat tinggalnya. Segara dia memutar kursi, bangkit dan menahan Haechan dua langkah dari meja.

COMING AROUND [3rd Book]Where stories live. Discover now