07. About Nightmare

778 143 25
                                    

°°•°•°•°•°°
.
.
.
.
.

"Sejak kapan lo di sana?" tanya Renjun sengit.

"Sejak lo nelepon nyokap lo," jawab Haechan, berdiri bersandar di depan pintu kamar mandi. Tangannya berse-dekap, menunjukkan aura penuh kemenangan berhasil mendengar yang tak seharusnya didengar. Bibirnya tersenyum miring. Terkadang harus bersikap curang mengakali sikap Renjun yang susah mencetuskan isi hati dan isi kepalanya.

"Lo ga jadi mandi?"

"Nguping lo curhat lebih menarik." Haechan mendekat, Renjun sontak berdiri menjaga jarak. "Ck," decaknya menarik tangan lelaki itu, menggagalkan niatnya untuk kabur. "Ngomong dulu sini."

"Gue mau mandi."

"Nanti aja," bujuk Haechan, mengajak Renjun duduk di karpet.

Meskipun bersungut-sungut dan wajahnya ditekuk seribu, perintah Haechan selalu dituruti. Renjun duduk dengan sedikit berjarak dari tempat Haechan. Menghindari tatapan lelaki itu yang tersemat menjengkelkan.

"So, what's the dream about?" Haechan langsung bertanya, takut lupa ingin bicara hal apa—lelaki di hadapannya itu senang mengulur waktu dan membolak-balikkan kalimat, mengecoh orang lain sehingga dia tidak perlu menjawab.

Renjun diam.

"About me?"tebak Haechan. Renjun mengangguk. "Lalu?"

"Cuma mimpi," gumam Renjun.

Haechan menggulir bola matanya. "Cuma mimpi, tapi bikin lo lari keluar tenda dan meluk gue. Cuma mimpi, tapi bikin lo diam kayak perawan ngambek shopping list-nya ga dikabulin."

Renjun merengut.

"Hahaha ...," Haechan tertawa. "Dipancing dulu baru noleh."

"Bangsat," umpat Renjun bergumam.

"Jadi, gue menghilang? Di mimpi lo?"

Renjun menatap lurus ke dalam mata Haechan. Riak kesal di wajahnya perlahan memudar digantikan sendu mengingat apa yang terjadi di dalam mimpinya. Hanya mimpi, tak mungkin terjadi, tapi betapa buruknya kejadian di alam itu terbawa ke dunianya yang nyata. Akan masuk akal jika seseorang bermimpi dikejar anjing dan takut mimpinya menjadi kenyataan. Mimpinya tak masuk akal dan cara berpikir kepalanya semakin tak wajar, tapi rasa takutnya sangat nyata.

Jika awalnya dia menghindar dan duduk berjarak, rasa sesak dan gugupnya membayangkan orang di depannya itu benar-benar menghilang, dia mendekatkan duduknya lebih dekat, menarik ujung kaos lelaki itu lalu menggenggamnya erat. Kepalanya menunduk dan jatuh pada dada Haechan. "Not just disappear," katanya, memulai cerita. Mengulang reka adegan di dalam mimpi. "I ran all over the place and asked everyone, they said they never knew you. Gue nanya ke Winter dan Chenle, mereka bilang ga pernah kenal sama lo. You didn't disappear, but never existed in the world. Only I think you exist. Cuma gue yang nyari lo ke mana-mana dan mereka bilang seorang Haechan ga pernah ada di dunia."

"Is it terrible?" Haechan meletakkan tangannya di pundak Renjun.

"After I ran far and woke up from the nightmare, no one was in the tent." Renjun tertawa pelan. "Gue akhirnya tau gimana ga enaknya mimpi kehilang-an seseorang dan saat bangun ga ada orang itu di dekat gue."

"Sakit?"

"Dude, why are we more alike?"

"Mirip apanya?" tanya Haechan. "Sama-sama suka mimpiin hal buruk, kehilangan satu sama lain?"

"Kenapa yang sering lo rasain, gue akhirnya bisa merasakan juga?"

"Ga suka?" tanya Haechan.

Tidak ada jawaban.

COMING AROUND [3rd Book]Where stories live. Discover now