13. Meja Panjang

785 145 50
                                    

°°•°•°•°•°°
.
.
.
.
.

Seminggu berlalu. Izin untuk bolak-balik Bournemouth-London demi menuntaskan puas bertemu terhalang menumpuknya tugas, juga pekerjaan membuat video animasi bersama Kayla dan lainnya. Setiap malam mereka setia pada rutinitas sleepcall. Tidak banyak bicara, hanya kamera mengarah pada sudut yang menunjukkan diri mereka.

Renjun mendiamkan gerutu di dalam hatinya akan sibuk yang tidak berpihak pada rindunya—dia bukan bicara dengan mulut, melainkan tatapan. Terlihat jelas tiap jenuh pada pekerjaan, sesekali, dia akan menoleh dan menatap begitu pekat pada layar yang menampilkan sisi samping wajah Haechan—fokus pada pekerjaan.

Hari ini, setelah kesibukan sialan yang menghalangi usahanya untuk bisa berdekatan, keluar dari kelas terakhir pukul 03.00 dia berlari ke parkirkan dan melajukan mobilnya pergi ke London.

"Hai!" Haechan menyapa dari sisi dapur di studio.

Ada hal baru di tempat itu. Gorden setinggi dinding dipasang berwarna abu-abu. Meja kerja sempit di sisi kiri berubah lebih panjang dan lebar. Diletakkan membujur dari kiri hingga tengah ruangan. Di dua sisi berbeda terdapat kursi berbeda jenisnya. Laptop Haechan dan berkas-berkasnya berada di sudut.

"Buat apa meja sebesar ini?" tanya Renjun.

"For us," sahut Haechan. Dia sedang menyiapkan makan malam. Bertamunya Renjun di tempatnya kali ini datang bersama kabar terlebih dulu.

"Sebesar ini?"

"Peralatan lo bakal lebih memakan tempat."

Diam-diam Renjun mengerucutkan bibir. Langkahnya mendekati meja dan mengamati benda yang sebenarnya akan berbentuk sama selama apa pun dia menatapnya. Terbuat dari kayu. Dicat putih sama seperti warna dinding. Tidak ada yang istimewa. Bedanya itu hanya sebuah meja kokoh yang ukurannya terlalu besar untuk dua orang menggelar pekerjaan di atasnya. Lalu, perhatiannya berhenti pada ujung gorden. Lima kanvas dengan ukuran berbeda disandarkan ke dinding. Di lantai di dekatnya terdapat beberapa kaleng cat

"Buat apa kanvas dan cat sebanyak ini?" tanyanya.

"Buat lo."

Renjun memutar badannya dan menuntut jawaban dari Haechan yang berjalan menghampirinya sambil membawa dua gelas kopi. Matanya menyipit. "Semua yang baru di tempat ini buat gue?" Gue harap bukan ...

Haechan tersenyum.

"Gue ga minta," kata Renjun dingin.

"Gue mau lo nyaman di sini," balas Haechan. Punggungnya bersandar pada tepian meja. Kedua gelas dia letakkan di atas meja. Kopi di dalam gelas miliknya lebih dulu diseruput.

"Apa pernah gue ngomong gue ga nyaman di dekat lo?"

Gelas Haechan tertahan di depan bibirnya.

"Pernah ga lo melakukan sesuatu yang nyaman buat diri lo sendiri?"

Haechan mengembalikan gelas di tangan ke atas meja. "Ke mana arah obrolan ini?"

"Gue merasa lo ngasih gue seisi dunia biar gue ga ke mana-mana."

Haechan diam.

"Rasanya gue bertahan di dekat lo hanya karena pemberian mewah lo."

"Gue ngasih, bukan lo yang minta."

"Lo ngasih segalanya, tapi gue ngasih lo apa adanya. Gimana kalau suatu hari lo merasa rugi?"

"Gue ga pernah merasa rugi," tegas Haechan, tentu bicaranya lembut.

"Kita saling kenal memang berawal dari perkara duit. But, dude, I stay by your side not because of that."

"Tau ...," potong Haechan.

"Lo bahkan rela menyiksa diri berpura-pura kuat padahal ego lo melarang gue pergi."

Haechan tersenyum. "Gue takut lo benci gue."

"See!" ujar Renjun. Dia duduk di atas meja, di sebelah Haechan. Dua gelas yang menghalanginya berdekatan dengan lelaki itu sudah di geser ke sisi lain. "Semua demi gue."

"Salah?" tanya Haechan.

"Jangan terlalu luar biasa," ucap Renjun. "Gue takut ga sanggup menyeimbangi hebatnya lo."

Haechan menutup wajahnya. Lalu, terdengar tawa dari sana.

"Jangan ketawa!" sungut Renjun, memukul lengan Haechan meminta perhatian.

"Lo udah bikin gue ga bisa napas." Haechan menoleh. Tawanya bersisa di wajahnya. "Gue pikir lo bakal marah dan pergi."

"Gue serius."

"Serius tentang apa?"

"Jangan terlalu luar biasa."

"Gue masih kurang banyak buat lo," tutur Haechan.

"Masih mau jadi pahlawan? Gue ga perlu itu."

"Terus, gue harus jadi apa?"

"You," jawab Renjun. Kepalanya sengaja menunduk. Hidungnya gatal berharap digaruk. "I'm afraid, I'm with you not because of my feelings, tapi karena hutang jasa."

"Gue ga pernah nagih lo balikin yang gue kasih."

Renjun menoleh dan menatap tajam. "Kalau semua peran luar biasa lo rebut, gue harus berperan apa?"

"Jangan bilang, gue cukup diam nerima semua cinta lo!" potong Renjun, padahal Haechan baru membuka mulut ingin bicara.

"Dude?!" Haechan tertawa. "Gue belum ngomong."

"Gue tau, itu yang mau lo ucapin."

Haechan menyatukan dua deretan giginya. Menahan keinginan membantah ucapan Renjun yang benar.

"Mama bilang, hubungan itu berjalan bersebelahan, bukan salah satu di depan dan yang lain tertinggal di belakang," tutur Renjun malu-malu sambil menggaruk hidungnya. "Kalau lo terlalu luar biasa dan berjalan jauh di depan gue, gue tertinggal dan lo menghilang, gimana?"

"Berhenti garuk hidung." Haechan menarik tangan Renjun dari hidung lelaki itu.

"Gue malu, bangsat." Renjun bertahan dengan kepala menunduk.

Haechan tertawa. "Diminum dulu kopinya, nanti dingin."

"Lebih penting kopi?" sungut Renjun.

"Lebih penting lo daripada yang lainnya."

"Malah ngegombal," protes Renjun.

"Lo yang duluan!" tunjuk Haechan.

"Terserah gue," balas Renjun.

"Ampun deh gue."

"Lo bikin salah? Kok minta maaf?!"

"Dude ...," gumam Haechan. Menarik Renjun dan memeluknya erat. Melampiaskan kesalnya kalau beradu argumen dengan lelaki itu. Dipukul pun tidak akan dia bebaskan sebelum kesalnya puas tersalur.

🔖

"Mejanya kebesaran," kata Renjun di tengah acara makan malamnya berdua Haechan.

"Ga suka?"

Renjun menunduk dan mengangguk.

"Kenapa?"

"Jauh dari lo."

🔖

COMING AROUND [3rd Book]Where stories live. Discover now