37. Diary Vanya ✅

50 8 0
                                    

Sebelum Baca jangan lupa tap bintang dulu ya!⚠

Happy Reading🧚‍♀️

•••

2 Minggu kemudian..

Pagi sekali dirumah Amora sangat berisik, rumah yang biasanya rapih keadaan nya sekarang sangat jauh dari kata rapih.

Mirna dan Beni yang dari tadi sibuk mondar-mandir, membuat Amora dan Vanya yang sedang duduk seketika pusing melihatnya.

"Mereka lucu yah, padahal aku sakit gak separah itu, tapi kenapa mereka repot-repot mau bawa aku ke Singapura?" Ucap Vanya sembari menatap lurus kedepan.

Amora yang berada disampingnya seketika menyahut. "Itu karena lo anak kesayangan mereka,"

"Padahal aku gak se-sempurna itu untuk menjadi prioritas mereka, aku gagal jadi anak yang mereka inginkan. Aku terlalu buruk,"

"Seburuk apapun lo, lo akan tetap menjadi anak mereka, kesayangan mereka, dan prioritas mereka."

Vanya menatap dalam mata indah Amora. Seketika perasaannya menjadi hangat. "Mora, aku gak tau kapan lagi kita akan bertemu. setelah aku pergi tolong baca buku diary aku. Aku simpan di atas laci. Dan.. Oh ya, selama kita satu atap, kita gak pernah main bareng seperti adik kakak lainya. Aku tau kita gak sedarah, tapi Aku selalu berharap kita satu arah."

Amora terdiam, ia sangat bingung apa yang barusan Vanya ucapkan. "Maksudnya?" Tanya Amora tak paham.

Vanya hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. "Mora, boleh Aku peluk kamu?" Tanya Vanya.

Amora diam, dengan ragu ia mengangukan kepalanya. Dengan perasaan bahagia Vanya memeluk Amora. "Jadi gini yah, rasanya pelukan adik? Seneng banget."

Disaat Amora dan Vanya saling berpelukan. Tiba-tiba Beni dan Mirna, menghampiri mereka.

"Vanya, Ayo kita berangkat," ujar Beni.

"Oh ya Mora, papa disana gak akan lama. Nanti papa akan pulang lagi,"

"Iya pah."

Lalu Beni, Mirna dan Vanya bersiap keluar Rumah.

"Vanya!" Panggil Amora. Seketika mereka berhenti melangkah. Lalu, Vanya pun melihat kearah Amora.

"Semangat, semoga lo cepat sembuh," ujar Amora lalu tersenyum.

Seketika Vanya menangis dan berhambur kepelukan Amora. "Hey jangan cengeng, kalo lo sudah sembuh nanti kita main bareng yah," Vanya pun menganguk, lalu tersenyum.

"Iya, makasih Mora."

***

Rumah yang baru beberapa waktu berisik, seketika hening. Rasanya sangat berbeda.

Amora berjalan pelan, menyusuri setiap ruangan. Ia jadi teringat momen dimana dirinya tinggal dirumah ini semenjak dirinya masih kecil sampai dewasa seperti ini.

Amora menginjak lantai satu persatu. Sampai dirinya sudah berada di depan pintu kamar Vanya. Ia jadi teringat dengan ucapan Vanya.

Ceklek...

Amora membuka pintu kamar Vanya. Gelap, hanya itu yang dirasakan Amora. Dinding yang di cat warna hitam, membuat ruangannya terlihat redup.

Amora kira, kamar Vanya seperti anak cewek lainya. Yang kebanyakan pernak-pernik, tapi ternyata tidak.

Lalu Amora melihat buku yang disimpan diatas laci.
Amora mengambil buku itu, lalu duduk di tepi Ranjang.

Lalu Amora membuka buku itu.
Dihalaman pertama Amora melihat biodata milik Vanya. Lalu Amora membuka halaman selanjutnya.

"Rasanya kok sakit yah, ngelihat anak orang lain selalu dibanggakan dan diapresiasi. Sedangkan anak sendiri tidak."

"Mah, pah. Aku capek harus seperti ini. Aku capek selalu Dituntut. Aku ingin menjadi diri Aku sendiri, bukan seperti orang lain. Aku Vanya, bukan Amora. Aku hanya anak bodoh bukan anak pintar seperti Amora."

"Aku benci sama Amora. Apa-apa Amora, Aku benci dibandingkan dengan dia!"

"Amora, kamu benci kan sama Aku? Ya karena Aku berusaha mati-matian membuat papah dan mamah benci sama kamu, karena Aku ingin perhatian mereka cuma buat Aku. Katakan saja Aku egois, yang haus akan kasih sayang."

"Amora Aku tahu, Aku terlalu berlebihan. Aku juga sakit melihat kamu selalu dipukul dan disiksa, Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan. Tapi Aku gak bisa seperti kamu. Kamu terlalu kuat, bisa-bisanya kamu menyembunyikan rasa sakit kamu sendirian. Beda dengan Aku Mora. Aku terlalu lemah, Aku gak kuat."

"Mora, andai kamu tahu. Nasib kita itu sama, andai kalau kita saling berjalan berdampingan. Kita akan selalu menguatkan. Tapi sayangnya kita berjalan saling berjauhan."

"Mora, kalau kamu lihat ini. Mungkin Aku sudah pergi. Aku gak tau harus cerita sama siapa. Hanya kamu yang Aku percaya, tapi sayangnya Aku tidak bisa mengapai kamu.
Sebenarnya Aku mempunyai penyakit yang sangat mematikan, setiap hari aku selalu berusaha membunuh diri ini. Aku gak kuat, setelah menerima kenyataan ini. Aku selalu berharap Aku akan mati secepatnya, percuma juga Aku hidup. Dan keinginanku pasti akan terwujud."

"Mora, impianku dari kecil. Aku ingin selalu dekat dengan kamu, bermain bersama, bercerita dan segalanya. Jika suatu saat nanti salah satu impianku terwujud, Aku akan selalu mengingatnya sampai Aku mati."

"Maaf yah buat semuanya. Aku terlalu jahat sama kamu. Semoga kamu disini baik-baik saja. Aku harap kamu selalu bahagia."

Cukup... Amora tidak kuat melanjutkan membaca diary Vanya.

Ia terlalu egois, sampai-sampai tidak mempedulikan kehidupan kakak tirinya yang membutuhkan dirinya. Sekarang Amora paham, dengan apa yang sudah Vanya perbuat.

"Kenapa lo gak pernah bilang. Gue kira lo baik-baik aja, tapi kenyataan lo sama aja kayak gue."

•••

AMORA (END)Where stories live. Discover now