06. Menikah?

2.7K 250 13
                                    

Hilyah mengerjapkan matanya dan menyesuaikan sinar matahari pagi yang cerah, namun tidak dengan dirinya. Walaupun masih setengah sadar, ia mencoba bangun dari tidurnya. Mengedarkan pandangannya pada seluruh penjuru kamar tersebut.

Setelah sadar sepenuhnya, Hilyah mengedarkan pandangannya kembali. Keningnya mengerut, dimana ia sekarang? Sepertinya kamar ini tidaklah asing untuk dirinya.

Karena penasaran, Hilyah mencoba bangkit dari tidurnya. Namun, ia merasakan pusing yang teramat pada kepalanya yang mengakibatkan dirinya terduduk kembali.

"Shhh pusing banget."

Hilyah memijat pelan pelipisnya, "gue kok bisa ada disini ya, dan kamarnya gak asing kaya pernah deh gue kesini."

Krieet.

Pintu terbuka menampilkan wanita paruh baya yang membawa nampan berisikan sarapan dan air minum. Segeralah ia menaruh pada meja di pinggir ranjang.

"Dimakan dulu Non sarapannya, nanti Tuan Arya marah kalo Non tidak makan. Non juga harus sembuh ya."

Hilyah memijit pelipisnya, 'Arya? Siapa di- What Arya kan kakek gue. Duh Hilyah, kenapa bisa lupa sama kakek  sendiri. Cucu durhaka lo Hil,' Batinnya.

"Bi? Hilyah kenapa bisa ada disini? Kok Hilyah bisa ada dirumah kakek. Hilyah nggak tidur sambil jalan kan tadi malem?"

Bi Asih terkekeh mendengarnya, "Tuan Arya yang membawa Non Hilyah kesini. Non Hilyah tadi malam pingsan."

Ia melototkan matanya, baru teringat jika dirinya diusir dari rumah, sungguh tega keluarga itu, mereka hanya mementingkan harta dibandingkan dirinya. Sebegitu rendah dan tidak pentingnya kah sampai ia dibuang bagaikan sampah.

Mengingat kejadian tadi malam, membuat Hilyah meneteskan air matanya kembali. "Bi, kakek mana? Hilyah mau ketemu kakek."

Saat Bi Asih hendak menjawab, laki-laki paruh baya datang mengampirinya. Bi Asih yang sadar jika dirinya sudah tidak diperlukan, ia pamit,  "kalau gitu bibi pamit dulu Tuan, Non. Permisi."

Bi Asih keluar meninggalkan kedua majikannya tersebut. Arya mengelus dengan lembut kepala cucu semata wayangnya. Ia sangat menyayangi cucunya ini. Setelah 17 tahun lalu ia kehilangan istrinya akibat sakit karena ditinggalkan anak laki-laki satu-satunya, ia berjanji akan menjaga cucunya ini.

Namun, karena kesibukan yang tidak bisa ia tinggalkan, mengharuskan ia menitipkan sang cucu pada Rina dan Reza.

Ia berpikir, jika ia menitipkan pada keduanya, cucunya akan bahagia serta mendapatkan kasih sayang dari peranan orang tua. Namun, ia salah, cucunya tak pernah bahagia selama bertahun-tahun ini. Ia ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Hilyah dan mendiang anaknya jika ia sangat tledor dalam menjaga Hilyah.

Hilyah memeluk tubuh kakeknya. Saat tangis pilu keluar dari mulut Hilyah, Arya dapat merasakan bagaimana sakitnya jika berada diposisi Hilyah. Arya turut menangis.

"Kakek, H-Hilyah capek kek. Hilyah capek."

"Hilyah nggak pernah bahagia disana. Hilyah selalu disiksa sama mereka," Arya mengeratkan pelukannya.

Kenapa? Kenapa Hilyah tak mau jujur padanya. Jika Hilyah berkunjung kesini Hilyah selalu menutupi semuanya. Namun sekarang, didepannya bukanlah Hilyah yang terlihat kuat, disini adalah sisi lain dari Hilyah.

Cucunya sangat rapuh, tapi kenapa masih ada saja orang yang membencinya bahkan sampai menyiksanya sedemikian rupa.

Arya duduk ditepi ranjang dan mencium kening Hilyah.

"Maaf..." Hanya kata itu yang dapat Arya ucapkan.

"Kenapa mereka jahat sama Hilyah, kakek. Hilyah sering dipukul, sering ditampar bahkan sampai tidur di gudang. Hilyah salah apa sama mereka."

Our StoryWhere stories live. Discover now