20. Sabar.

1.9K 240 18
                                    

Hilyah berjalan di area santriwati, niatnya akan menemui Asya dan Syifa. Ia kesana bukan untuk curhat mengenai rasa sakit hati dan juga permasalahannya dengan Gus Adzam melainkan untuk menghibur diri. Lagi pula Asya dan Syifa hanya tau jika ia sebatas kerabatnya saja bukan seorang istri dari Gusnya mereka.

Kerena sudah tau dimana letak kamar asrama mereka berdua, Hilyah mengetuk pintu kamar tersebut. "Assalamu'alaikum. Asya, Syifa ini gue Hilyah." ucapnya sedikit berteriak.

"Wa'alaikumsalam, sebentar aku pake kerudung dulu." sahut salah seorang gadis dari dalam kamar.

Syifa keluar dari kamarnya. "Eh, Mbak Hilyah ayo masuk."

Hilyah memasuki kamar ini untuk yang kedua kalinya. Disana ada Asya  yang tengah memakan makanan ringan.

"Makan, Mbak sini." tawarnya.

Hilyah mengangguk kemudian ia duduk di lantai dan mengambil cemilan tersebut. Masa sudah ditawari malah ditolak, rugi. Pikirnya. Kebetulan juga ia lapar.

"Kalian lagi sibuk nggak nih gue kesini? Takutnya gue ganggu kalian."

Keduanya kompak menggeleng. "Ndak ganggu kok, kita juga baru datang habis ada kegiatan di masjid."

Hilyah mengangguk paham sembari mulutnya mengunyah snack.

"Yang lain kemana? Waktu pagi juga gue cuma liat kalian berdua aja disini." tanya Hilyah kembali. Karena saat pagi ia kesini juga hanya ada dua temannya ini dan tak ada yang lain.

"Kita emang berdua aja disini, belum ada santriwati lagi. Mungkin nanti kalau ada ajaran baru."

"Enggak takut cuma berdua doang di kamar yang lumayan gede cuma diisi sama kalian aja?"

Asya menghentikan terlebih dahulu ngemilnya. "Waktu kita berdua baru jadi santriwati disini dan kebetulan juga kita disini dan cuma berdua aja. Waktu awal-awal masuk kita berdua emang takut banget di sini. Karena takut mungkin kita juga sering berhalusinasi."

"Pernah juga kita lihat bayangan disini tau, tinggi banget." sambung Syifa.

Asya mengangguk, membetulkan ucapan Syifa. Hilyah tetap mengemil dan mendengarkannya dengan penuh kenikmatan karena diberi makanan gratis. Karena menurutnya yang gratis lebih enak. Tapi ia juga menghargai dengan cara mendengarkan keduanya bercerita.

"Karena takut, kita lapor langsung ke Abi Raihan. Abi sama Kyai Umar langsung datang ke kamar kita dan langsung didoain. Alhamdulillah setelah itu ndak ada lagi yang mengganggu. Sebelumnya juga ada dua orang disini lagi, cuma ya karena itu mereka lebih pilih pindah asrama."

"Dan cuma kita yang tahan, ya gak, Asya?" Asya mengangguk.

"Lumayan serem juga ya."

"Banyakin doa sama ibadah, insya Allah mereka nggak akan ganggu lagi karena selain iman yang kuat, Allah juga selalu melindungi kita. Mereka juga makhluk ciptaan Allah sama seperti kita dan kedudukannya kita jauh yang lebih mulia."

"Allah menciptakan manusia dan jin juga sama, yaitu untuk beribadah kepada-Nya."

Hilyah terdiam. Jika diperbolehkan, Hilyah ingin tinggal saja diasrama bersama Asya dan Syifa atau yang lainnya, daripada harus tinggal serumah dengan orang datar dan tidak menghargai istri.

Tapi, apakah ia diperbolehkan? Yang ada malah dimarahi, pikirnya.

Sebenarnya ia ingin meminta haknya pada sang suami, karena menurutnya Gus Adzam wajib mengajarkannya ilmu agama. Dan itu juga janji suaminya saat mengkhitbah dirinya. Jika tak mampu untuk mengajarinyapun, Hilyah ingin belajar agama islam pada Asya dan juga Syifa atau pada yang lainnya.

Our StoryWhere stories live. Discover now