21. Menyebalkan.

1.6K 182 2
                                    

Sebelum berangkat ke sekolah, Hilyah terlebih dahulu membuat sarapan untuk dirinya sendiri, ingat dirinya sendiri. Hanya sarapan dengan nasi goreng dan telur mata sapi setengah matang, beh mantap. Pikirnya.

Masalah Gus Adzam sarapan atau tidak? Ia tidak peduli, siapa suruh tidak menghargai masakan dirinya, ya walaupun ada kesalahan Hilyah dalam menghidangkan masakan yang sedikit gosong. Tapikan ada yang lain juga selain ayam. Emang dasar Gusnya aja tuh.

Hilyah sarapan dengan khidmat.

Setelah selesai, terlebih dahulu ia mencuci piringmya, baru setelah itu ia bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Hilyah keluar rumah sebelum telat ke sekolah, ia harus berangkat pagi-pagi agar tidak terlambat, mungkin setelah beberapa minggu sekolah ia akan membolos. Batinnya licik.

Ia juga ingin merasakan bagaimana rasanya dihukum dipesantren, apakah akan sama seperti saat disekolahnya dulu ataukah berbeda, menantang.

Gus Adzam keluar kamar dan melihat ke arah meja makan, kosong. Mungkin istrinya lupa membuatkannya sarapan.

Ia membuka laci dapur. "Apa ning Hilyah yang membeli semuanya? Astaghfirullah, saya lupa memberinya uang untuk berbelanja. Kenapa saya bisa lupa dengan kewajiban saya."

"Ning juga sudah pergi."

****

Hilyah terburu-buru sampai akhirnya ia menabrak tubuh seorang wanita. Buku-buku yang dibawa oleh wanita tersebut terjatuh ke tanah.

Matanya menatap tajam gadis yang tak sengaja menabraknya. "Kamu ini bagaimana sih kalau jalan, tidak punya mata kamu hah!!"

Hilyah mengambil benda-benda yang berjatuhan dan mengembalikan pada sang pemilik. "Ya maaf gue gak lihat tadi ada lo. Lagian gue lihat lo gak ada luka kan, masih tebel juga tuh dempul."

"APA KAMU BILANG?!! Asal kamu tau ya, saya ini Ustadzah sekaligus guru disini. Yang sopan kamu, saya itu lebih tua dari kamu."

"Iya maaf. Gue akui ini kesalahan gue, gue tadi buru buru. Maaf ya ibu Ustadzah yang terhormat." ucap Hilyah sedikit malas.

"Kamu ini tidak ada sopan santunnya sama yang lebih tua. Disini dilarang mengucapkan kata-kata itu. Peraturan disini tidak boleh ada santri atau siswa yang mengucapkan kata lo-gue. Disini pesantren diajarkan sopan santun. Kalau kamu berucap seperti itu sama saja kamu tidak menghargai dan menghormati peraturan disini."

Karena telinganya pengang mendengar ocehan dari Ustadzah menor ini, ia mulai meninggalkannya. Ustadzah ini juga yang menegurnya saat berada di tepi danau saat ia baru masuk ke pesantren.

Ustadzah itu tetap memarahinya tidak jelas, Hilyah hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Bodo amat mau dianggap tidak sopan atau sebaginya.

Sampai di depan kelas, sepasang tatapan tidak suka dengan kehadirannya atau malah tidak suka saat melihat perdebatannya dengan sang Ustadzah tadi.

"Dengan guru saja seperti itu, apalagi dengan orang tua kamu." ucapnya menatap Hilyah.

Hilyah mendengarkannya tapi ia tetap melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas, "Pasti tidak diajarkan sopan santun sama orang tuanya."

"Kalau lo nggak tau apa-apa nggak usah banyak bacot. Lo sendiri juga pastinya diajarin supaya nggak ngomongin orang dari belakang sama fitnah orang. Kalo lo nggak tau kebenarannya, mulut busuk lo itu suruh diem. Dan nggak ada gunanya juga lo ngomong gitu."

Wanita berhijab itu tersulut emosi. "Santri baru saja sudah sombong seperti ini, apalagi kalau sudah lama makin besar kepala."

"Kalo udah lama ya gue juga pergilah dari sini. Ngapain lama-lama apalagi buat ngurusin manusia kaya lo."

Our StoryWhere stories live. Discover now