07. Titik Terendah.

2.3K 241 8
                                    

Happy Reading.
_____________


Setelah selesai dari pemakaman, Hilyah berjalan menuju kamarnya. Arya melihatnya hanya bisa terdiam saat melihat cucunya yang menahan semua kesedihan yang dialaminya.

Hilyah berjalan dengan tatapan kosong. Sampai di kamar, Hilyah mengunci pintu kamarnya dan menangis dengan sejadi-jadinya. Hilyah duduk dibawah ranjang dan memukuli bagian ranjang yang terbuat dari kayu itu. Ia tak menghiraukan jika tangannya akan lebam bahkan terluka, untuk sekarang Hilyah hanya butuh tempat dimana ia bisa mengeluarkan semua amarah bahkan kekecewaan pada benaknya.

"KENAPA TAKDIR GUE KAYA GINI TUHAN. LO GAK ADIL BANGET SAMA GUE. LO GAK PERNAH BIARIN GUE BAHAGIA SEDIKITPUN, Kapan gue bisa ngerasain bahagia kaya orang lain. KAPAN!!!"

"Gue mau mati, Lo tahan. Terus kapan waktunya gue bahagia."

Hilyah terus memukul semua benda bahkan tubuhnya sendiri. Hilyah menjambak-jambak rambutnya sendiri saking kecewa akan semua takdir yang Tuhan berikan padanya.

"Hamba kecewa, kenapa harus hamba yang merasakan nasib ini." Suaranya kian melemah.

"Hamba kecewa."

"Kenapa Engkau panggil orang tau hamba, kenapa bukan aku saja yang Engkau ambil. Setelah seluruh kebahagiaan yang hamba punya Engkau ambil, selanjutnya apa lagi yang Engkau mau dari saya. Apa semuanya akan Engkau ambil juga. ARGHHH..."

Hilyah terus memukul dan menjambak rambutnya. Ia tak menghiraukan rasa sakit pada badannya. Namun, rasa sakit dalam batinnya yang tak bisa ia pendam.

Ingin menyerah, marah tapi tak mampu ia lampiaskan.

"S-SAKIT. Kapan hamba bahagia. Jika memang dalam takdir ku Engkau tulis untuk ku tidak ada kebahagiaan. Hamba mohon, mohon Tuhan, berikan hamba satu kali untuk merasakan apa itu bahagia. Mohon Tuhan, hamba hanya ingin bahagia, walaupun hanya bisa merasakannya satu kali, satu kali..."

Sedari tadi pintu kamarnya selalu diketuk dan kakeknya terus memanggil namanya.

Hilyah mencoba bangkit dan membuka pintunya. Setalah pintu terbuka Arya dapat melihat bagaimana raut wajah kecewa, marah, sedih menjadi satu. Ia langsung mendekap dengan erat cucunya itu.

Isakan demi isakan keluar dari bibir tipis Hilyah.

"Bi, tolong ambilkan minum." Arya sedikit menaikkan suaranya.

"Baik, Tuan."

"Duduk dulu ya."

Arya mendudukkan Hilyah di sisi ranjang. Masih memeluknya dengan erat.

"Ini, Tuan." Bi Asih memberikan air putih pada tuannya. Saat melihat Hilyah hatinya seletika ikut teriris. Ia teringat kembali dengan putrinya yang berada jauh darinya.

Bi asih keluar dari kamar Hilyah.

"Minum dulu." Hilyah melepaskan pelukannya dan mengambil gelas berisikan air tersebut. Ia hanya meminumnya sedikit.

"Mau kalek ceritakan?" Hilyah mengangguk lemah.

"Sebelumnya kakek minta maaf sama Hilyah, ini semua juga karena kakek. Karena kakek, Hilyah hidup menderita dengan iblis itu." Arya menggenggam erat tangan Hilyah.

"Orang tau kamu adalah orang yang sangat baik. Mereka menikah karena perjodohan. Orang tua ibumu memaksa kakek untuk menjodohkan mereka. Kakek tidak bisa menolaknya karena bagaimanapun mereka sudah baik sama kakek. Mereka membantu perusahaan kakek yang hampir bangkrut dulu."

"Seiring berjalannya waktu kakek paham kenapa almarhum kakekmu itu meminta agar segera menikahkan Mamah dan Papah mu, itu semua karena harta. Waktu itu perusahaan kakek sedang jaya jayanya, dan mereka mengungkit kembali bantuannya pada kakek dan meminta kakek menyetujui agar orang tau kamu menikah. Kakek ingin menolaknya tapi mereka memaksa, alhasil kakek menerimanya walaupun sangat berat."

Our StoryWhere stories live. Discover now