19. Tidak Dihargai.

2K 244 18
                                    

Seorang gadis membuka laci dapur untuk mengecek apa saja bahan-bahan yang akan ia beli nanti, dan ternyata didalamnya tidak ada apa-apa, kosong.

Hilyah menghela napas, seharusnya Gus Adzam sudah menyiapkan semuanya atau minimal memberinya uang untuk membeli keperluan. Bisa saja Hilyah terus menumpang makan dirumah mertuanya, tapi ia juga mempunyai malu dan sadar jika ia sudah berkeluarga sendiri dan rasanya sangat tidak pantas untuk terus menumpang hidup.

"Jam 3 sore, emang masih ada pasar yang buka?" tanyanya pada diri sendiri.

"Apa besok aja ke pasarnya, besok juga kan tanggal merah. Baru sekali masuk sekolah udah libur aja, tapi gak papa sih gue malah seneng. Tapi bete juga disini nggak ada temen."

"Mau main hp juga cape lama-lama. Mau ngeberesin rumah juga udah selesai semua, masa iya gue berantakin lagi. Kurang kerjaan banget."

"Mendingan gue cari udara seger deh diluar."

Hilyah keluar tak lupa menggunakan kerudung instan. Ia sebenarnya malas keluar menggunakan pakaian seperti ini, tapi ia juga takut jika sang suami melihatnya tak memakai pakaian yang pantas, bisa-bisa ia akan diceramahi sampai pagi.

Ia mulai berjalan mengelilingi area santriwati. Banyak santriwati yang hanya sekedar berkumpul ataupun menyendiri sembari menghafal.

Karena menurutnya tidak ada yang menarik, lantas ia pergi saja ke ndalem. Diluar ndalem terlihat para santriwan yang sedang menyetorkan hafalannya pada Abi Raihan dan Gus Fahri.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Karena menyadari menantunya datang, Abi Raihan bertanya. "Cari Ummi, nduk?" Hilyah mengangguk. "Ummi di dalam, masuk saja." Hilyah mengangguk kembali.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." ternyata Ummi Nabila sedang duduk bersama Nyai Fara.

"Sini nduk, duduk samping Oma." lembut Nyai Fara.

Hilyah mengampirinya dan tak lupa juga bersalaman. "Ada apa, Nduk?" tanyanya.

Hilyah menggeleng. "Mau main kesini aja Oma. Dirumah Hilyah sendirian nggak ada temen, padahal punya suami tapi berasa jomblo." lanjutnya dalam hati.

Hilyah memeluk tubuh wanita paruh baya tersebut, ia juga dapat merasakan usapan lembut di kepalanya.

"Ummi?"

Ummi Nabila menoleh. "Kenapa?"

"Mau ajarin Hilyah ngaji sama sholat nggak? Soalnya Hilyah belum bisa. Hilyah tadi malem belajar cuma susah banget buat ngingetnya."

Ummi Nabila tersenyum. "Boleh dong, nanti belajar ya sama Ummi atau Oma. Tapi seharusnyakan Hilyah belajar sama suami Hilyah."

Hilyah menggeleng. "Enggak mau Ummi, Gus mukanya galak, nanti Hilyah malah kena marah terus."

"Nggak akan, suami kamu itu baik walaupun wajahnya datar seperti itu. Kamu juga akan tau sifat lembutnya kalau kamu bisa membuat Adzam mencintai kamu."

"Nanti Ummi ya yang bilang sama Adzam buat ngajarin kamu. Siapa tau cara itu juga yang bisa menjadi jalan pendekatan kalian."

*****

Gus Adzam masuk ke area pemakaman untuk berziarah ke makam orang tuanya. Memang tak setiap hari ia kesini dan hanya seminggu 2 sampai 3 kali, itupun jika ia sedang merindukan mereka.

"Assalamualaikum."

Gus Adzam membersihkan daun-daun kering yang berjatuhan mengenai gundukan tanah tersebut. Setelah dirasa sudah bersih, ia berjongkok di depan pusara ibunya.

Our StoryOnde histórias criam vida. Descubra agora