part 1

100K 3.4K 20
                                    

Please bantu vote ulang.

Cerita ini sama kayak cerita MARRIED WITH DOCTOR sebelumnya, cuma aku pindah lapak aja biar part nya ga acak-acakan.

"Saya punya tawaran baik untuk kamu." Kata itu bagai keajaiban bagi gadis yang duduk di depan seorang dokter. Bagai menemukan air ditengah gersangnya gurun, dengan antusias gadis tersebut segera menatap dokter didepannya. Menanti kata apa yang selanjutnya akan diucapkan oleh dokter yang sudah sangat baik padanya.

"Saya akan membayar biaya pengobatan ayah kamu." Gadis tersebut tampak terkejut, namun terpancar harapan dari matanya setelah mendengar ucapan dokter.

"Tapi saya punya syarat yang harus kamu penuhi." Tanpa perlu berpikir dua kali, gadis tersebut segera menanyakan apa syarat yang diminta dokternya.

"Apa dokter? Saya bersedia asal ayah saya bisa sembuh. Saya tidak mau kehilangan ayah saya dokter, hanya dia yang saya punya saat ini." Jangan heran jika gadis itu berucap demikian, karena dia adalah seorang piatu sejak menginjak bangku SMP.

Dokter tidak segera menjawab pertanyaan gadis itu. Tampak masih berfikir sambil mengamati gadis didepannya. Setelah merasa yakin dengan apa yang akan dikatakannya, dokter itu menghela nafas berat sebelum mengatakan.

"Menikah dengan saya." Gadis itu diam mematung. Menatap dokter didepannya yang bisa saja sedang bercanda hingga mengatakan omong kosong seperti yang didengarnya.

"Dokter bercanda kan?" Lirih gadis itu. Mendapat gelengan dari lawan bicaranya membuat air mata yang tadi sempat berhenti mengalir kini kembali berjatuhan dari kedua kelopak mata indahnya.

"Saya bukan perempuannya seperti itu dokter. Saya memang butuh uang tapi jika harus menjadi perusak rumah tangga seseorang saya tidak mau." Indira Kemala, biasa dipanggil Dira oleh orang-orang, adalah nama gadis itu. Ucapan dokter sangat melukai harga dirinya, Dira tau bahwa dokter itu sudah berkeluarga karena bukan sekali dia datang kerumah sakit ini. Beberapa kali dia bahkan sempat bertemu dengan anak yang para suster bilang adalah dari dokter didepannya.

"Saya duda. 7 bulan lalu saya sudah resmi berpisah." Jelas dokter itu, mematahkan ucapan Dira. Dira menggeleng menatap dokter itu tidak percaya, tega sekali dia mengatakan duda padahal anaknya saja masih kecil, yang Dira perkirakan masih berusia sekitar 1 tahunan.

"Tega dokter bilang kayak gitu padahal anak aja masih kecil. Ingat anak istri dok, saya yakin jika istri dokter mendengarnya pasti dia sangat kecewa."

"Apa perlu saya perlihatkan surat cerai saya agar kamu percaya?" Dokter itu menatap Dira penuh intimidasi. Dira merasa lemah ditatap seperti itu, apalagi kata yang terlontar dari dokter sama sekali tidak mencerminkan keraguan.

"Apa tidak ada cara lain dokter? Atau begini saja, saya hutang dulu pada dokter. Saya sedang mencari pekerjaan dok, saya bersumpah akan membayar hutang itu nanti jika saya sudah bekerja." Dira berusaha melakukan nego dengan dokter yang mendapat gelengan tidak setuju.

"Tidak ada penawaran lain Dira. Jika kamu tidak ingin menerima tawaran saya, tidak masalah." Dira merunduk, pikirannya sedang berkecamuk saat ini, dari mana dia bisa mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat sedangkan dia saja masih belum mendapatkan pekerjaan. Ayahnya tidak bisa menunggu lagi, kondisinya sedang drop saat ini, jika dipaksa menunggu maka Dira tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada ayahnya.

Tapi juga menerima tawaran dokter didepannya bukan pilihan bagus, pernikahan bukan untuk main-main. Banyak proses ya harus dilewati agar pernikahan itu tidak gagal. Salah satu impian Dira adalah menikah sekali seumur hidup, tapi apa boleh dia egois untuk saat ini? Apa dira harus lebih mementingkan impiannya dari pada nyawa ayahnya?

"Dokter pernikahan bukan sesuatu yang bisa dimainkan, saya tidak mau dokter."

"Saya tidak memaksa."

"Saya senang karena dokter tidak memaksa. Tapi apa tidak bisa dokter membantu saya sekali lagi?"

"Ini kartu nama saya. Jika kamu berubah pikiran silahkan hubungi saya segera." Agam menyerahkan kertas kehadapan Dira. Awalnya Dira hanya memandangi saja kartu itu tanpa mengambilnya.

"Saya harus memeriksa pasien. Jika sudah tidak ada yang harus dibahas lagi, silahkan keluar." Harapan hanya tinggal harapan, saat ini yang bisa dilakukan Dira hanyalah memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang dengan cepat. Tidak ingin membuang waktu hanya untuk memohon didepan dokter itu, tanpa menunggu pengusiran selanjutnya Dira segera keluar dari ruangan dokter. Tidak lupa juga dia mengambil kartu nama yang tadi disodorkan padanya, entah mengapa tangan Dira seperti tergerak untuk mengambilnya, barangkali suatu saat nanti dia akan membutuhkannya.

Agam Zafran Pramana, nama dokter itu. Dia menatap punggung Dira yang berjalan keluar dari ruangannya. Sesungguhnya Agam tidak tega melihat perempuan itu menangis tersedu-sedu didepannya. Tapi dia tidak bisa menolong gadis itu begitu saja.

Agam sudah lama mengincar gadis itu, ini adalah kesempatannya untuk mengikat Dira. Entah sejak kapan Agam menaruh perhatian pada gadis itu, sudah berkali-kali Agam melihatnya keluar masuk rumah sakit ini karena keadaan ayahnya yang tidak stabil. Katakanlah Agam lelaki licik, karena memanfaatkan keadaan ini. Tapi ada suatu ketertarikan yang membuatnya tidak mau jika Dira jatuh ke pelukan laki-laki selain dirinya.

Agam berpikir, lebih baik dia segera mengikat gadis itu dengan pernikahan. Dari pada dia harus diam-diam memperhatikan Gadis yang bukan mahramnya hanya akan mendatangkan dosa. Jika mereka sudah menikah Agam bebas untuk melakukan apa saja pada Dira.

Besar harapan Agam agar dia berubah pikirannya, bukan hanya dia yang membutuhkan Dira sebagai istri, tapi anaknya juga membutuhkan sosok ibu yang harus menemani pertumbuhannya.

Agam segera meraih snelinya dan keluar untuk kembali melaksanakan tugasnya sebagai dokter.

Di dalam toilet yang sedang sepi, Dira sibuk menelepon salah satu temannya yang merupakan anak dari pengusaha.

"Halo, Jen."

"Ya, kenapa Dir? Tumben banget telepon duluan."

"Jena aku butuh bantuan kamu."

"Bantu apa dulu nih? Kalau aku mampu pastilah aku bantu." Beruntungnya Dira mempunyai teman seperti Jena yang sudah terkenal sangat baik di kampus.

"Jena, aku butuh kerjaan. Kamu tau kan ayah aku sakit, sekarang ayah masuk rumah sakit lagi karena kondisinya tadi lagi drop. Kerja apa aja aku bisa kok."

"Kayaknya restoran Kakak aku lagi nyari orang deh. Nanti aku bantu omongin deh sama kakak aku, tapi gajinya gak banyak."

"Gak Papa Jen. Aku bersedia. Makasih ya kamu udah bantu aku."

"Sama-sama. Semoga ayah kamu cepet sembuh ya."

Setelah panggil berakhir, Dira bisa sedikit merasa lega, hanya sedikit. Dalam hati dia sangat berterimakasih karena telah diberi teman seperti Jena. Meskipun sekarang mereka sudah jarang bertemu karena Dira sudah tidak berkuliah lagi.

Tapi tetap saja dia harus mencari kerjaan lain, karena jika hanya mengandalkan gaji di restoran tidak akan cukup untuk pengobatan ayahnya. Dira merasa kalut saat ini, pikirannya bercabang. Semoga saja Tuhan segera memberikan jalan keluar dari permasalahannya dan ayah nya dapat pulang dengan kondisi yang kembali stabil.

•• . ••

Married with Doctor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang