part 21

31.6K 1.7K 11
                                    

Mulai sekarang akan update ditempat ini, yang dulu udah ga kepake karena berantakan banget.

Yuk bantu ramein.

Mama mertua kini telah pamit pergi, dan rasanya sungguh capek sekali setelah berkutat di dapur. Tapi melihat kue yang dihasilkan sesuai dengan ekspetasi, rasanya sangat worthit dan tidak sia-sia membuang waktu cukup lama.

Baru saja Dira ingin merebah diri di kasur empuk, handphonenya tiba-tiba saja berbunyi tanda ada panggilan masuk. Dira mengambil handphone yang sedari tadi diabaikan oleh pemiliknya, melihatnya nama suaminya tertata di layar membuat Dira jadi berpikir ada apa gerangan Agam meneleponnya.

Panggilan diterima oleh Dira. Lalu dia mengucapkan salam, yang langsung di jawab oleh Agam.

"Saya pulang malam hari ini. Teman saya ada yang mengajak makan dulu." Ucap Agam disebrang sana meminta izin. Dira tentu tidak akan melarang suaminya itu, bukan karena Dira sudah menjadi istri Agam lantas Dira akan bersikap semena-mena pada laki-laki itu sampai berani melarang Agam berkumpul dengan temannya. Dira bukanlah istri posesif seperti itu, selama yang dilakukan Agam tidak salah dan tidak melanggar agama maka biarkan saja.

"Ya udah gapapa. Mas udah makan?" Dira memberikan izin sekaligus bertanya. Meskipun Agam seorang dokter yang pasti sangat tau tentang kesehatan, tetapi Dira harus memastikan bahwa suaminya itu tidak telat makan.

"Ini lagi makan di kantin." Dira mengangguk, saat dia akan menjawab tiba-tiba saja terdengar suara wanita lain yang mengucapkan terimakasih pada Agam di sebrang sana. Dira tidak tau siapa wanita itu, tapi mengapa cara memanggil suaminya itu terkesan sangat lembut dan manja.

"Siapa Mas?" Tanya Dira menjadi penasaran pada suara tersebut.

"Kiya, anak koas." Jawab Agam seadanya tanpa ingin menjelaskan maksud dari wanita itu berterimakasih kepadanya. Tidak ingin berprasangka buruk pada suaminya, Dira memutuskan untuk bertanya saja.

"Anak koas yang waktu itu kerumah?" Dira memastikan yang langsung di-iyakan oleh Agam.

"Iya. Nanti katanya mau ikut mobil saya karena tidak membawa kendaraan sendiri tadi." Dira merasa janggal dengan kedekatan yang terjadi antara Agam dan Kiya. Apa iya anak koas bisa sesantai itu dengan dokter yang bekerja disana, bahkan kejanggalan dari sifat Kiya sudah dirasakan oleh Dira sejak Kiya datang bersama teman Agam waktu itu. Apa hubungan seperti itu wajar terjadi antara keduanya? Apa memang ada suatu hubungan yang Dira tidak ketahui?

Dira menggelengkan kepala, mengenyahkan segala pikiran negatif yang bersarang di kepalanya. Jaman sekarang sudah modern, bisa saja kan mereka hanya berhubungan selayaknya teman. Dira harus tetap berpikir positif tentang suaminya. Dia yakin Agam bukan laki-laki yang seperti itu. Ini hanya perkara kecil, jangan sampai menjadi perdebatan pertama dalam rumah tangganya.

"Oh, iya aku mau kasih tau tadi Mama mampir." Meskipun bukan sesuatu yang penting sebenarnya, tapi Dira ingin saja memberitahukan harinya pada Agam.

"Mama kesana? Ngapain?"

"Minta tolong aku buatkan kue yang kayak kemarin. Katanya mau dibagiin sama teman-temannya." Dira mengatakan dengan perasaan berbunga-bunga. Disebrang sana Agam juga tidak kalah senang mendengar kabar yang istrinya berikan.

"Alhamdulillah. Semoga Mama makin lengket sama kamu." Dira meng-aminkan ucapan Agam. Maksud lengket disini adalah semakin dekat.

"Saya tutup teleponnya, saya masih ada kerjaan." Panggilan diputus oleh Agam.

Setelah menyelesaikan acara makannya, Agam berlalu dari kantin untuk melaksanakan tugasnya sebagai dokter.

Sebenarnya, dia ingin segera pulang setelah menyelesaikan pekerjaan tapi apa daya temannya sudah sepakat untuk melakukan makan malam bersama sekaligus untuk melepaskan penat. Jika hanya Agam seorang yang tidak ikut andil, maka tidak enak dengan temannya takut menyinggung perasaan mereka. Tapi tidak apa lah, sekali-kali kan menghabiskan waktu dengan teman. Dira sendiri juga tidak masalah dengan itu. Maka tidak ada alasan untuk Agam menolak.

Saat waktu telah menunjukkan pukul enam sore, barulah Agam dan para teman-temannya menuju restoran yang sebelumnya sudah direservasi.

Saat ini, mereka tengah asik bercengkrama satu sama lain sembari menunggu makanan datang. Suasana tampak riuh sekaligus hangat, memancarkan aura kekeluarga di waktu yang bersamaan.

Di tengah, ke riuhan itu Agam izin untuk pergi ke toilet. Saat baru saja tubuh Agam hilang oleh dinding yang memisahkan, ponselnya tiba-tiba berdering di atas meja. Agam tidak sadar bahwa dia telah meninggalkan handphonenya disana. Beberapa pasang mata memandang ke arah handphone tersebut.

Karena sang pemilik yang masih saja belum selesai dengan urusannya di toilet, maka salah satu teman Agam bercelatuk.

"Angkat aja lah. Kasi tau kalau Agam masih di toilet, siapa tau penting kan." Mereka saling lirik satu sama lain.

"Kiya aja tuh yang suruh angkat." Ujar salah satu, posisi Kiya yang berada di samping tempat Agam menjadikan dia sasaran empuk.

"Yang lain aja, gak enak kalau aku yang angkatin." Kiya berusaha menolak setelah melihat nama istri Agam yang tertera di sana.

"Udah gak masalah dari pada bunyi terus kan." Bujuk mereka. Akhirnya tidak ada keputusan lain, Kiya meraih handphone Agam dan menggeser ikon hijau, panggilan pun tersambung. Sedangkan yang lain melanjutkan percakapan yang tadi sempat terhenti.

"Halo." Sura Dira di sebrang sana terdengar di gendang telinga. Sebelum menjawabnya Kiya terlebih dulu menghembuskan nafas, dia sudah merasa lancang karena berani memegang benda privasi milik Agam. Kiya harus meminta maaf pada dokter itu nanti.

"Iya, halo." Kiya mengeluarkan suaranya.

Mendengar bukan suara suaminya yang terdengar, Dira memastikan kembali. Sudah benar, dia menelepon suaminya kok tapi kenapa malah yang terdengar suara wanita.

"Ini Kiya, dokter Agam masih ada di toilet." Kiya memberitahu. Lagi dan lagi nama itu kembali terdengar di telinga Dira.

Dira tidak tau perasaan seperti apa yang dirasakannya kini. Tapi yang jelas dia merasa sedikit terusik dengan nama itu. Dira hanya diam, bingung hendak merespon seperti apa.

Akhirnya Dira memutuskan untuk mengakhiri panggilan saja, hatinya bergemuruh. Dira berusaha untuk tidak berpikiran macam-macam dengan suaminya, nanti saat Agam pulang mungkin Dira bisa menanyakan perihal kejadian ini.

Dira juga tidak mengerti kenapa dia bisa bersikap seperti ini. Dira merasa tidak tenang sebelum suaminya itu menapakkan kaki di rumah mereka. Dengan was-was, Dira berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Nara sudah tidur hingga tidak perlu mengkhawatirkan bayi itu.

Sesekali Dira menggigit jarinya, tidak bisa terus seperti ini. Dira mengambil air dan menegaknya hingga tandas. Rupanya hal itu masih belum bisa meredakan kemelut yang terjadi di otaknya.

Dira merebahkan diri di atas ranjang, dia menarik nafas lalu menghembuskan nya perlahan. Hal itu dilakukan Dira hingga beberapa kali dan akhirnya pikiran Dira bisa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.

Dira tidak bisa tidur nyenyak hingga pikiran-pikiran yang ada di otaknya enyah.

• • .• •

Married with Doctor Where stories live. Discover now